esuatu yang baru itu, jika ia mempunyai asal dan sumber dalam
syariat, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai bid’ah. Banyak hal yang
dibuat oleh kaum Muslimin yang mempunyai asal dan landasan dalam
syariat. Misalnya, penulisan dan pengkompilasian (penggabungan)
Al-Qur’an dalam satu mushaf, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar
berdasarkan usul Umar r.a..
Sebelumnya Abu Bakar merasa berat untuk melaksanakan rencana itu. Ia
berkata, “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw.?” Namun, Umar terus membujuknya dan
memberikan argumentasi betapa pentingnya hal itu hingga akhirnya Abu
Bakar menerima usul itu dan melaksanakannya.[23]
Karena, hal itu demi kebaikan dan kepentingan kaum muslimin, meskipun
hal itu tidak dilakukan oleh Nabi saw.. Agama Islam dapat dipertahankan
dengan menjaga dan memelihara Al-Qur an itu, dan Al-Qur an adalah pokok
agama, sumber, dan pokok yang abadi. Oleh karena itu, kita harus menjaga
Al-Qur’an dari kemungkinan tercecer atau mengalami kesimpangsiuran.
Nabi saw telah mengizinkan pencatatan wahyu saat wahyu diturunkan.
Dan, beliau memiliki sekretaris yang bertugas mencatat wahyu-wahyu yang
diturunkan (Zaid bin Tsabit). Semua itu dilakukan dalam upaya menjaga
dan memelihara Al-Qur’an.
Selama masa hidup Nabi saw., beliau tidak mengkompilasikan Al-Qur’an
dalam satu kesatuan. Karena, pada saat itu, ayat-ayat Al-Qur’an terus
turun secara beriringan, dan Allah SWT terkadang mengubah sebagian ayat
yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw. itu. Sehingga, jika
ayat-ayat yang diturunkan itu langsung dikompilasikan ke dalam satu
kesatuan, niscaya akan ditemukan kesulitan jika terjadi perubahan dari
Allah SWT. Terkadang, saat suatu ayat diturunkan, Rasulullah saw.
memerintahkan kepada para pencatat wahyu, letakkanlah ayat ini dalam
surah itu (surah tertentu), dan masing-masing surah dalam Al-Qur’an
belum diketahui sudah lengkap atau belum ayat-ayatnya, hingga seluruh
ayat Al-Qur’an selesai diturunkan.
Surah al-Baqarah misalnya, ia turunkan pada permulaan era Madinah.
Namun, ayat-ayat dalam surah itu baru terlengkapi setelah lewat delapan
tahun. Dan, di dalamnya terdapat ayat-ayat yang oleh ulama dikelompokkan
sebagai ayat-ayat yang terakhir diturunkan. Seperti pendapat yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat Al-Qur’an yang terakhir
diturunkan adalah firman Allah SWT: “Dan, peliharalah dirimu dari (azab
yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan
kepada Allah. Kemudian, masing-masing diri diberi balasan yang sempurna
terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak
dianiaya (dirugikan).” (al-Baqarah: 281)
Oleh karena itu, selama masa itu, Nabi saw. melarang upaya
pengkompilasian Al-Qur an. Namun, saat kelengkapan Al-Qur’an telah
diketahui, setelah wafatnya Rasulullah saw., maka para sahabat merasa
aman dari kemungkinan adanya penambahan dan pengurangan Al-Qur an. Oleh
karena itu, mereka segera mencatat ayat-ayat Al-Qur’an yang berserakan
dalam berbagai media dan mengkompilasikannya dalam satu mushaf. Dengan
demikian, hal ini mempunyai dasar dan sandaran dalam syariat sehingga
perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai bid’ah.
Contoh yang lain adalah tindakan Umar r.a. yang menyatukan
orang-orang yang melaksanakan shalat tarawih dalam satu jamaah shalat di
bawah satu imam shalat, yaitu Ubay bin Ka’ab. Sebelumnya, mereka
melaksanakan shalat tarawih secara terpisah-pisah dengan imam shalat
masing-masing. Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qaari
bahwa ia berkata, “Aku berjalan bersama Umar Ibnul-Khaththab pada malam
bulan Ramadhan menuju masjid. Pada saat itu, kami menemukan masyarakat
melakukan shalat (tarawih) secara terpisah-pisah. Ada yang shalat
sendirian dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang
makmum. Melihat itu Umar berkata, “Aku berpendapat, seandainya semua
orang disatukan dalam jamaah shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu
orang imam niscaya akan lebih baik.” Dan, rencananya Umar akan
mengangkat Ubay bin Ka’ab sebagai imam shalat mereka. Kemudian, pada
malam lainnya, aku kembali berjalan bersama Umar (menuju masjid). Saat
itu, kami telah mendapati orang-orang sedang melaksanakan shalat
(tarawih) di bawah pimpinan satu imam shalat mereka. Melihat itu Umar
berkomentar, “Bid’ah[24]
yang paling baik adalah ini. Dan, orang yang saat ini tidur adalah
lebih baik dari mereka yang melaksanakan qiyamullail pada saat ini
karena mereka (yang masih tidur) akan melaksanakannya pada akhir malam,
sedangkan orang lainnya melaksanakannya pada awal malam.”[25]
Kata “bid’ah” yang diucapkan oleh Umar tadi, yakni kalimat “bid’ah
yang paling baik adalah ini” adalah kata bid’ah dengan pengertian
lughawi ‘etimologis’, bukan dengan pengertian terminologis syariat.
Karena, kata bid’ah dalam pengertian etimologis adalah “sesuatu yang
baru diciptakan atau baru diperbuat” yang belum pernah ada sebelumnya.
Yang dimaksud oleh Umar dengan ucapannya itu adalah, manusia sebelumnya
belum pemah melaksanakan shalat tarawih dalam kesatuan jamaah shalat
seperti itu. Meskipun pada dasarnya, shalat tarawih secara jamaah itu
sendiri pernah terjadi pada masa Nabi saw.. Karena, beliau mendorong
kaum muslimin untuk melaksanakan shalat itu. Dan, banyak orang yang
mengikuti shalat tarawih beliau selama beberapa malam. Namun, saat
beliau mendapati banyak orang yang berkumpul untuk melaksanakan shalat
tarawih bersama beliau, beliau tidak menemui mereka lagi untuk shalat
bersama. Kemudian, pada pagi harinya, beliau bersabda, “Aku melihat apa
yang kalian lakukan itu, dan yang menghalangi diriku untuk keluar dan
shalat (tarawih) bersama kalian adalah karena aku takut jika shalat itu
sampai diwajibkan atas kalian.”[26]
Kekhawatiran ini, yakni kekhawatiran Rasulullah saw. jika Allah SWT
mewajibkan shalat tarawih itu, menjadi hilang dengan wafatnya Nabi saw..
Dengan begitu, hilang pula faktor yang menghalangi dilaksanakannya
shalat tarawih dalam satu kesatuan jamaah shalat.[27]
Yang terpenting, makna “mukhtara’ah (sesuatu yang baru diciptakan
atau baru diperbuat)” itu adalah sesuatu yang tidak diperintahkan oleh
syariat.
Dari sini, ulama salaf kemudian mengkompilasikan ilmu-ilmu syariat,
kemudian menciptakan ilmu-ilmu baru untuk mendukung syariat itu.
Seperti, ilmu ushul fiqih, ilmu musthalah hadits, ilmu-ilmu bahasa Arab,
dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar