Minggu, 16 September 2012

Arab Pra-Islam


PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari  mana
pula  asal-usulnya,  sebenarnya  masih  ada hubungannya dengan
zaman kita sekarang  ini.  Penyelidikan  demikian  sudah  lama
menetapkan,  bahwa  sumber peradaban itu sejak lebih dari enam
ribu  tahun  yang  lalu  adalah  Mesir.  Zaman   sebelum   itu
dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu
sukar sekali akan sampai kepada suatu  penemuan  yang  ilmiah.
Sarjana-sarjana   ahli   purbakala   (arkelogi)  kini  kembali
mengadakan penggalian-penggalian  di  Irak  dan  Suria  dengan
maksud  mempelajari  soal-soal  peradaban  Asiria  dan Funisia
serta  menentukan  zaman  permulaan   daripada   kedua   macam
peradaban  itu:  adakah  ia  mendahului  peradaban  Mesir masa
Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa
itu dan terpengaruh karenanya?
 
Apapun  juga  yang  telah  diperoleh  sarjana-sarjana arkelogi
dalam bidang  sejarah  itu,  samasekali  tidak  akan  mengubah
sesuatu  dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian
benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum  memperlihatkan
hasil  yang  berlawanan.  Kenyataan  ini  ialah  bahwa  sumber
peradaban pertama - baik di Mesir, Funisia atau Asiria  -  ada
hubungannya  dengan  Laut Tengah; dan bahwa Mesir adalah pusat
yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu  ke  Yunani
atau  Rumawi,  dan  bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup
kita  sekarang  ini,  masih  erat  sekali  hubungannya  dengan
peradaban pertama itu.
 
Apa   yang   pernah   diperlihatkan   oleh  Timur  Jauh  dalam
penyelidikam tentang sejarah peradaban, tidak  pernah  memberi
pengaruh  yang jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban
Fira'un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan
dan  perkembangan  peradaban-peradaban  tersebut. Hal ini baru
terjadi sesudah  ada  akulturasi  dan  saling-hubungan  dengan
peradaban      Islam.     Di     sinilah     proses     saling
pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah
sedemikian  rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban
dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.

Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang  dan  tersebar
ke  pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di
Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang  lalu,  yang  sampai
saat  ini  perkembangannya  tetap dikagumi dunia: perkembangan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang  pertanian,
perdagangan,  peperangan  dan  dalam  segala  bidang  kegiatan
manusia.   Tetapi,   semua   peradaban   itu,    sumber    dan
pertumbuhannya,  selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa
sumber itu  berbeda-beda  antara  kepercayaan  trinitas  Mesir
Purba  yang  tergambar  dalam  Osiris,  Isis  dan  Horus, yang
memperlihatkan  kesatuan  dan  penjelmaan  hidup  kembali   di
negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak,
dan  antara  paganisma  Yunani  dalam  melukiskan   kebenaran,
kebaikan   dan   keindahan  yang  bersumber  dan  tumbuh  dari
gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera;  demikian  sesudah
itu   timbul   perbedaan-perbedaan  yang  dengan  penggambaran
semacam  itu  dalam  pelbagai  zaman  kemunduran   itu   telah
mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi sumber
semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah  dunia,
yang  begitu  kuat  pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini,
sekalipun peradaban demikian hendak  mencoba  melepaskan  diri
dan  melawan  sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa
tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.
 
Dalam   lingkungan   masyarakat   ini,    yang    menyandarkan
peradabannya  sejak  ribuan  tahun  kepada sumber agama, dalam
lingkungan  itulah  dilahirkan   para   rasul   yang   membawa
agama-agama   yang  kita  kenal  sampai  saat  ini.  Di  Mesir
dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia  dibesarkan  dan
diasuh,  dan  di  tangan  para pendeta dan pemuka-pemuka agama
kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan  dan  rahasia-rahasia
alam.

Setelah  datang ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat
di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: "Akulah
tuhanmu yang tertinggi" iapun berhadapan dengan Firaun sendiri
dan tukang-tukang  sihirnya,  sehingga  akhirnya  terpaksa  ia
bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina.
Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah
yang  ditiupkan  ke  dalam  diri Mariam. Setelah Tuhan menarik
kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan
agama   Nasrani   yang   dianjurkan   Isa   itu.   Mereka  dan
pengikut-pengikut     mereka     mengalami      bermacam-macam
penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini
tersebar,  datanglah  Maharaja  Rumawi  yang  menguasai  dunia
ketika  itu,  membawa  panji  agama  Nasrani. Seluruh Kerajaan
Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di
Mesir,  di  Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan
dari Mesir menyebar  pula  ke  Ethiopia.  Sesudah  itu  selama
beberapa  abad  kekuasaan  agama  ini semakin kuat juga. Semua
yang berada di bawah panji  Kerajaan  Rumawi  dan  yang  ingin
mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan Kerajaan ini,
berada di bawah panji agama Masehi itu.
 
Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar  di  bawah  panji
dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di
Persia yang mendapat dukungan  moril  di  Timur  Jauh  dan  di
India.   Selama  beberapa  abad  itu  Asiria  dan  Mesir  yang
membentang  sepanjang  Funisia,  telah  merintangi  terjadinya
suatu  pertarungan  langsung  antara kepercayaan dan peradaban
Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir  dan  Funisia
ke  dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan
itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang  sudah
berhadap-hadapan  muka.  Selama  beberapa abad berturut-turut,
baik Barat maupun Timur, dengan  hendak  menghormati  agamanya
masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam,
kini telah berhadapan dengan  rintangan  moril,  masing-masing
merasa  perlu  dengan  sekuat  tenaga  berusaha mempertahankan
kepercayaannya, dan satu sama lain tidak  saling  mempengaruhi
kepercayaan  atau  peradabannya,  sekalipun  peperangan antara
mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.

Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat  mengalahkan  Rumawi
dan  dapat  menguasai  Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di
ambang pintu Bizantium,  namun  tak  terpikir  oleh  raja-raja
Persia  akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat
agama Nasrani. Bahkan pihak yang  kini  berkuasa  itu  malahan
menghormati  kepercayaan  orang  yang dikuasainya. Rumah-rumah
ibadat mereka yang sudah hancur  akibat  perang  dibantu  pula
membangun  kembali  dan  dibiarkan  mereka  bebas  menjalankan
upacara-upacara  keagamaannya.  Satu-satunya  yang   diperbuat
pihak  Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan
dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti
berada  di  pihak  Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari
tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat  itu
tetap  di  Barat  dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian
rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua
kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan.
 
Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam
pada itu pertentangan antara  Rumawi  dengan  Bizantium  makin
meruncing.  Pihak  Rumawi,  yang  benderanya berkibar di benua
Eropa sampai ke Gaul  dan  Kelt  di  Inggris  selama  beberapa
generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia
dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah
mulai  surut, sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan
kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang
menguasai  dunia  itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah
tatkala pasukan Vandal yang buas itu  datang  menyerbunya  dan
mengambil  kekuasaan  pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini
telah menimbulkan bekas yang  dalam  pada  agama  Masehi  yang
tumbuh  dalam  pangkuan  Kerajaan  Rumawi.  Mereka  yang sudah
beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan
besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.

Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah.Dari zaman ke
zaman  mazhab-mazhab   itu   telah   terbagi-bagi   ke   dalam
sekta-sekta  dan  golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai
pandangan dan  dasar-dasar  agama  sendiri  yang  bertentangan
dengan   golongan  lainnya.  Pertentangan-pertentangan  antara
golongan-golongan satu sama lain  karena  perbedaan  pandangan
itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa
oleh karena moral dan jiwa yang sudah  lemah,  sehingga  cepat
sekali   ia  berada  dalam  ketakutan,  mudah  terlibat  dalam
fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di
antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa
Isa  mempunyai  jasad  disamping  bayangan  yang  tampak  pada
manusia;  ada  pula  yang mempertautkan secara rohaniah antara
jasad dan ruhnya sedemikian rupa  sehingga  memerlukan  khayal
dan  pikiran  yang  begitu rumit untuk dapat menggambarkannya;
dan  disamping  itu  ada  pula  yang  mau  menyembah   Mariam,
sementara  yang  lain  menolak pendapat bahwa ia tetap perawan
sesudah melahirkan Almasih.
 
Terjadinya pertentangan antara  sesama  pengikut-pengikut  Isa
itu  adalah  peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan
zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran:  soalnya  hanya
terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap
kata  dan  tiap   bilangan   itu   ditafsirkan   pula   dengan
bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah
dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal  dan  hanya
dapat  dikunyah  oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku
saja.
 
Salah seorang pendeta gereja berkata:  "Seluruh  penjuru  kota
itu  diliputi  oleh  perdebatan.  Orang dapat melihatnya dalam
pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang,
pedagang  makanan.  Jika  ada  orang  bermaksud hendak menukar
sekeping emas, ia akan  terlibat  ke  dalam  suatu  perdebatan
tentang  apa  yang  diciptakan  dan apa yang bukan diciptakan.
Kalau  ada  orang  hendak  menawar  harga   roti   maka   akan
dijawabnya:  Bapa  lebih  besar  dari putera dan putera tunduk
kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam  mandi
adakah  airnya  hangat,  maka pelayannya akan segera menjawab:
"Putera telah diciptakan dari yang tak ada."
 
Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga  ia
terpecah-belah  kedalam  golongan-golongan dan sekta-sekta itu
dari segi politik  tidak  begitu  besar  pengaruhnya  terhadap
Kerajaan   Rumawi.   Kerajaan   itu   tetap  kuat  dan  kukuh.
Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan
tetap  adanya  semacam  pertentangan  tapi  tidak sampai orang
melibatkan diri kedalam polemik teologi atau  sampai  memasuki
pertemuan-pertemuan  semacam  itu  yang  pernah  diadakan guna
memecahkan  sesuatu  masalah.  Suatu  keputusan  yang   pernah
diambil  oleh  suatu  golongan  tidak sampai mengikat golongan
yang  lain.  Dan  Kerajaanpun  telah  pula  melindungi   semua
golongan  itu  dan  memberi kebebasan kepada mereka mengadakan
polemik, yang  sebenarnya  telah  menambah  kuatnya  kekuasaan
Kerajaan    dalam   bidang   administrasi   tanpa   mengurangi
penghormatannya  kepada   agama.   Setiap   golongan   jadinya
bergantung  kepada  belas  kasihan penguasa, bahkan ada dugaan
bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan
pihak yang berkuasa itu.

Sikap  saling  menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu
itulah pula yang menyebabkan  penyebaran  agama  Masehi  tetap
berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi sampai
ke  Ethiopia  yang  merdeka  tapi   masih   dalam   lingkungan
persahabatan  dengan  Rumawi.  Dengan  demikian  ia  mempunyai
kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut  Merah  seperti  di
sekitar  Laut  Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke
Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab  Ghassan  yang
pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai
Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah  dari
pedalaman  sahara  yang  tandus  ke  daerah-daerah  subur juga
demikian,  yang  selanjutnya  mereka  tinggal  di  daerah  itu
beberapa  lama  untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia
Majusi.
 
Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami
kemunduran  seperti  agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalau
dalam agama Majusi menyembah api  itu  merupakan  gejala  yang
paling  menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan
kejahatan  pengikut-pengikutnya  telah   berpecah-belah   juga
menjadi  golongan-golongan  dan  sekta-sekta pula. Tapi disini
bukan  tempatnya  menguraikan  semua  itu.  Sungguhpun  begitu
kekuasaan  politik  Persia  tetap kuat juga. Polemik keagamaan
tentang  lukisan  dewa  serta  adanya  pemikiran  bebas   yang
tergambar   dibalik  lukisan  itu,  tidaklah  mempengaruhinya.
Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung
di  bawah  raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan
itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai  suatu  cara
supaya  satu  dengan  yang  lain saling berpukulan, atas dasar
kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat,  maka  Raja  atau
salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.
Kedua  kekuatan  yang  sekarang  sedang  berhadap-hadapan  itu
ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan  Majusi,  kekuatan  Barat
berhadapan   dengan   kekuatan  Timur.  Bersamaan  dengan  itu
kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada dibawah  pengaruh  kedua
kekuatan  itu, pada awal abad keenam berada di sekitar jazirah
Arab.  Kedua  kekuatan  itu  masing-masing  mempunyai   hasrat
ekspansi   dan   penjajahan.  Pemuka-pemuka  kedua  agama  itu
masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya
ke   atas   kepercayaan   agama  lain  yang  sudah  dianutnya.
Sungguhpun demikian jazirah itu  tetap  seperti  sebuah  oasis
yang  kekar  tak sampai terjamah oleh peperangan, kecuali pada
beberapa tempat  di  bagian  pinggir  saja,  juga  tak  sampai
terjamah  oleh  penyebaran  agama-agama  Masehi  atau  Majusi,
kecuali sebagian kecil  saja  pada  beberapa  kabilah.  Gejala
demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh kalau tidak kita
lihat letak dan iklim  jazirah  itu  serta  pengaruh  keduanya
terhadap  kehidupan  penduduknya,  dalam aneka macam perbedaan
dan persamaan serta kecenderungan hidup mereka masing-masing.

Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak  parallelogram.  Ke
sebelah  utara  Palestina  dan  padang  Syam, ke sebelah timur
Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk  Persia,  ke
sebelah  selatan  Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke
sebelah barat Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan
daerah  ini  dilingkungi  lautan, dari utara padang sahara dan
dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Akan  tetapi  bukan
rintangan  itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan
penyerbuan penjajahan dan  penyebaran  agama,  melainkan  juga
karena  jaraknya  yang berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu
melebihi seribu kilometer, demikian juga luasnya sampai seribu
kilometer  pula. Dan yang lebih-lebih lagi melindunginya ialah
tandusnya daerah ini yang luar  biasa  hingga  semua  penjajah
merasa  enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah
sungaipun tak ada.  Musim  hujan  yang  akan  dapat  dijadikan
pegangan  dalam  mengatur  sesuatu  usaha  juga tidak menentu.
Kecuali daerah Yaman yang terletak  di  sebelah  selatan  yang
sangat  subur  tanahnya  dan cukup banyak hujan turun, wilayah
Arab  lainnya  terdiri  dari  gunung-gunung,  dataran  tinggi,
lembah-lembah  tandus serta alam yang gersang. Tak mudah orang
akan dapat tinggal  menetap  atau  akan  memperoleh  kemajuan.
Samasekali  hidup  di  daerah  itu  tidak menarik selain hidup
mengembara terus-menerus  dengan  mempergunakan  unta  sebagai
kapalnya  di  tengah-tengah  lautan  padang  pasir itu, sambil
mencari padang hijau  untuk  makanan  ternaknya,  beristirahat
sebentar  sambil  menunggu ternak itu menghabiskan makanannya,
sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat
lain.  Tempat-tempat  beternak  yang  dicari  oleh orang-orang
badwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari
bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di
daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang  terserak
di  sana-sini  dalam  wahah-wahah  yang berada di sekitar mata
air.

Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian  itu,  yang  seperti
Sahara  Afrika  Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup
menetap, dan cara  hidup  manusia  yang  biasapun  tidak  pula
dikenal.  Juga  sudah  biasa bila orang yang tinggal di daerah
itu tidak lebih maksudnya  hanya  sekadar  menjelajahinya  dan
menyelamatkan  diri  saja,  kecuali  di tempat-tempat yang tak
seberapa, yang masih ditumbuhi  rumput  dan  tempat  beternak.
Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal
karena  sedikitnya  orang  yang   mau   mengembara   dan   mau
menjelajahi  daerah  itu.  Praktis  orang  zaman  dahulu tidak
mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja  letaknya  itu
telah  dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun
dapat bertahan diri.

Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan
guna  mengangkut  barang  dagangan  atau mengadakan pelayaran.
Dari  peribahasa  Arab  yang   dapat   kita   lihat   sekarang
menunjukkan,   bahwa  ketakutan  orang  menghadapi  laut  sama
seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk
mengangkut  barang  dagangan  itu  harus ada jalan lain selain
mengarungi bahaya  maut  itu.  Yang  paling  penting  transpor
perdagangan  masa  itu  ialah  antara  Timur dan Barat: antara
Rumawi dan sekitarnya, serta  India  dan  sekitarnya.  Jazirah
Arab  masa  itu  merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang
diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk Persia,  lewat
terusan  yang  terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu
wajar sekali bilamana  penduduk  pedalaman  jazirah  Arab  itu
menjadi  raja  sahara,  sama halnya seperti pelaut-pelaut pada
masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai  air
daripada  daratan,  menjadi  raja  laut.  Dan sudah wajar pula
bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan
para  kafilah  sampai  ke  tempat-tempat  yang berbahaya, sama
halnya seperti para pelaut, mereka sudah mengenal  garis-garis
perjalanan  kapal  sampai  sejauh-jauhnya.  "Jalan kafilah itu
bukan  dibiarkan  begitu  saja,"  kataHeeren,  "tetapi   sudah
menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir
yang luas itu, yang biasa  dilalui  oleh  para  kafilah,  alam
telah   memberikan   tempat-tempat   tertentu  kepada  mereka,
terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak  menjadi  tempat
mereka   beristirahat.   Di   tempat  itu,  di  bawah  naungan
pohon-pohon kurma dan di  tepi  air  tawar  yang  mengalir  di
sekitarnya,  seorang  pedagang  dengan binatang bebannya dapat
menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan  yang  melelahkan
itu.  Tempat-tempat  peristirahatan  itu  juga  telah  menjadi
gudang perdagangan mereka,  dan  yang  sebagian  lagi  dipakai
sebagai  tempat  penyembahan,  tempat  ia meminta perlindungan
atas barang dagangannya atau meminta pertolongan  dari  tempat
itu."1
 
Lingkungan  jazirah  itu  penuh  dengan  jalan  kafilah.  Yang
penting di antaranya ada dua. Yang  sebuah  berbatasan  dengan
Teluk  Persia,  Sungai  Dijla,  bertemu dengan padang Syam dan
Palestina. Pantas jugalah kalau  batas  daerah-daerah  sebelah
timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang
sebuah lagi berbatasan  dengan  Laut  Merah;  dan  karena  itu
diberi  nama  Jalan  Barat.  Melalui dua jalan inilah produksi
barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang  di
Timur  diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu
mendapatkan kemakmurannya.
 
Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang
negeri-negeri  yang  telah  dilalui  perdagangan  mereka  itu.
Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik  pihak  Barat
maupun  pihak  Timur  sedikit  sekali yang mau mengarunginya -
kecuali bagi mereka  yang  sudah  biasa  sejak  masa  mudanya.
Sedang    mereka    yang    berani    secara   untung-untungan
mempertaruhkan nyawa banyak  yang  hilang  secara  sia-sia  di
tengah-tengah  padang  tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa
hidup mewah di kota, tidak akan tahan  menempuh  gunung-gunung
tandus  yang  memisahkan  Tihama dari pantai Laut Merah dengan
suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga
orang  yang  sampai  ke  tempat tersebut - yang hanya mengenal
unta  sebagai  kendaraan  -  ia   akan   mendaki   celah-celah
pegunungan  yang  akhirnya  akan menyeberang sampai ke dataran
tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang  yang  sudah
biasa  hidup  dalam  sistem  politik  yang  teratur  dan dapat
menjamin segala kepuasannya akan  terasa  berat  sekali  hidup
dalam   suasana  pedalaman  yang  tidak  mengenal  tata-tertib
kenegaraan.  Setiap  kabilah,  atau  setiap  keluarga,  bahkan
setiap  pribadipun  tidak  mempunyai  suatu  sistiem  hubungan
dengan pihak lain selain ikatan  keluarga  atau  kabilah  atau
ikatan  sumpah  setia  kawan  atau  sistem jiwar (perlindungan
bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang  lemah  kepada
yang lebih kuat.
 
Pada  setiap  zaman  tata-hidup  bangsa-bangsa  pedalaman  itu
memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota.  Ia  sudah  puas
dengan   cara  hidup  saling  mengadakan  pembalasan,  melawan
permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah  yang  tidak
mempunyai   pelindung.   Keadaan  semacam  ini  tidak  menarik
perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.
 
Oleh karena itu daerah Semenanjung  ini  tetap  tidak  dikenal
dunia  pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah Muhammad
s.a.w.  lahir  di  tempat  tersebut  -  orang  mulai  mengenal
sejarahnya  dari  berita-berita  yang dibawa orang dari tempat
itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup itu  sekarang
sudah mulai dikenal dunia.

Tak  ada  yang  dikenal  dunia  tentang negeri-negeri Arab itu
selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang  berbatasan  dengan
Teluk  Persia.  Hal  ini  bukan  karena  hanya disebabkan oleh
adanya perbatasan Teluk Persia dan  Samudera  Indonesia  saja,
tetapi   lebih-lebih   disebabkan   oleh   -   tidak   seperti
jazirah-jazirah lain - gurun sahara yang tandus.  Dunia  tidak
tertarik,  negara  yang  akan  bersahabatpun tidak merasa akan
mendapat  keuntungan  dan  pihak  penjajah  juga  tidak  punya
kepentingan.  Sebaliknya,  daerah  Yaman tanahnya subur, hujan
turun secara teratur pada  setiap  musim.  Ia  menjadi  negeri
peradaban   yang   kuat,  dengan  kota-kota  yang  makmur  dan
tempat-tempat beribadat yang  kuat  sepanjang  masa.  Penduduk
jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa
yang cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang  menyirami
bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut.
Mereka membuat Bendungan Ma'rib yang dapat menampung arus  air
hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku.
 
Sebelum  di  bangunnya  bendungan  ini  , air hujan yang deras
terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu,  menyusur
turun  ke  lembah-lembah  yang  terletak di sebelah timur kota
Ma'rib. Mula-mula  air  turun  melalui  celah-celah  dua  buah
gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini, memisahkan satu
sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila sudah sampai  di
Ma'rib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga
hilang terserap seperti  di  bendungan-bendungan  Hulu  Sungai
Nil.  Berkat pengetahuan dan kecerdasan yang ada pada penduduk
Yaman itu, mereka membangun sebuah bendungan, yaitu  Bendungan
Ma'rib.  Bendungan  ini dibangun daripada batu di ujung lembah
yang sempit,  lalu  dibuatnya  celah-celah  guna  memungkinkan
adanya  distribusi  air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki
dan dengan demikian tanah mereka bertambah subur.
 
Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang  pernah
diselidiki  -  dan  sampai  sekarang  penyelidikan  itu  masih
diteruskan -menunjukkan, bahwa  peradaban  mereka  pada  suatu
saat  memang  telah  mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga
sejarahpun  menunjukkan  bahwa  Yaman  pernah  pula  mengalami
bencana.

Sungguhpun  begitu  peradaban  yang  dihasilkan dari kesuburan
negerinya serta penduduknya yang menetap menimbulkan  gangguan
juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari
keluarga Himyar yang sudah  turun-temurun,  kadang  juga  dari
kalangan  rakyat Himyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari
berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada  agama  Musa
(Yudaisma),  dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah
menimpa bangsanya.  Ia  belajar  agama  ini  dari  orang-orang
Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang
disebut-sebut oleh  ahli-ahli  sejarah,  yang  termasuk  dalam
kisah   "orang-orang  yang  membuat  parit,"  dan  menyebabkan
turunnya  ayat:  "Binasalah  orang-orang  yang  telah  membuat
parit.  Api  yang  penuh  bahan  bakar. Ketika mereka duduk di
tempat itu. Dan apa yang  dilakukan  orang-orang  beriman  itu
mereka  menyaksikan.  Mereka  menyiksa  orang-orang  itu hanya
karena  mereka  beriman  kepada  Allah  Yang  Maha  Mulia  dan
Terpuji." (Qur'an 85:4-8)
 
Cerita  ini  ringkasnya  ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi
Isa yang saleh bernama  Phemion  telah  pindah  dari  Kerajaan
Rumawi  ke Najran. Karena orang ini baik sekali, penduduk kota
itu banyak yang mengikuti  jejaknya,  sehingga  jumlah  mereka
makin  lama  makin  bertambah  juga. Setelah berita itu sampai
kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke  Najran  dan  dimintanya  kepada
penduduk  supaya  mereka  masuk agama Yahudi, kalau tidak akan
dibunuh. Karena mereka menolak, maka  digalilah  sebuah  parit
dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit
itu dan yang tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan
pedang  atau  dibikin  cacat.  Menurut  beberapa  buku sejarah
korban pembunuhan itu  mencapai  duapuluh  ribu  orang.  Salah
seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu
Nuwas,  ia  lari  ke  Rumawi  dan   meminta   bantuan   Kaisar
Yustinianus  atas  perbuatan  Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak
Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis  surat
kepada  Najasyi  (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap
raja Yaman. Pada waktu itu [abad ke-6] Abisinia yang  dipimpin
oleh   Najasyi   sedang   berada  dalam  puncak  kemegahannya.
Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh  armada  yang
kuat2  dapat  menancapkan  pengaruhnya  sampai sejauh-jauhnya.
Pada waktu itu ia menjadi sekutu  Imperium  Rumawi  Timur  dan
yang  memegang  panji  Kristen  di Laut Merah, sedang Kerajaan
Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.
Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia  mengirimkan
bersama  orang  Yaman  itu  -  yang  membawa surat - sepasukan
tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha  al-Asyram
salah  seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas
nama penguasa Abisinia. Ia  memerintah  Yaman  ini  sampai  ia
dibunuh  oleh  Abraha yang kemudian menggantikan kedudukannya.
Abraha inilah  yang  memimpin  pasukan  gajah,  dan  dia  yang
kemudian  menyerbu  Mekah  guna  menghancurkan  Ka'bah  tetapi
gagal, seperti yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut.
 
Anak-anak Abraha  kemudian  menguasai  Yaman  dengan  tindakan
sewenang-wenang.  Melihat  bencana  yang  begitu  lama menimpa
penduduk, Saif bin Dhi Yazan  pergi  hendak  menemui  Maharaja
Rumawi.  Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya
mengirimkan penguasa lain dan Rumawi ke Yaman.  Tetapi  karena
adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan
Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi  permintaan  Saif  bin
Dhi  Yazan  itu.  Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan
pergi  menemui  Nu'man  bin'l-Mundhir  selaku  Gubernur   yang
diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya di Irak.3
 
Nu'man  dan  Saif  bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap
Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan  Resepsi
(Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti
pada bagian tahta itu. Di tempat musim  dinginnya  bagian  ini
dikelilingi  dengan  tabir-tabir dari bulu binatang yang mewah
sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan  lampu-lampu  kendil
terbuat  daripada  perak  dan  emas dan diisi penuh dengan air
tawar. Di atas tahta itulah  terletak  mahkotanya  yang  besar
berhiaskan  batu  delima, kristal dan mutiara bertali emas dan
perak, tergantung dengan rantai dari  emas  pula.  Ia  sendiri
memakai  pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat
itu akan merasa terpesona  oleh  kemegahannya.  Demikian  juga
halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.
 
Kisra   menanyakan   maksud   kedatangannya  itu  dan  Saifpun
bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada
mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan
juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?),  salah
seorang  keluarga  ningrat  Persia  yang paling berani. Persia
telah  mendapat  kemenangan  dan  orang-orang  Abisinia  dapat
diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu.
 
Sejak  itulah  Yaman  berada  di  bawah  kekuasaan Persia, dan
ketika Islam  lahir  seluruh  daerah  Arab  itu  berada  dalam
naungan agama baru ini.
 
Akan  tetapi  orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu
tidak langsung di bawah kekuasaan Raja  Persia.  Terutama  hal
itu  terjadi  setelah  Syirawih  (Shiruya  Kavadh II) membunuh
ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri  menduduki  takhta.  Ia
membayangkan  -  dengan  pikirannya yang picik itu bahwa dunia
dapat  dikendalikan  sekehendaknya   dan   bahwa   kerajaannya
membantu  memenuhI  kehendaknya  yang sudah hanyut dalam hidup
kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan  banyak  sekali  yang
tidak  mendapat  perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya
sendiri. Ia pergi memburu dalam  suatu  kemewahan  yang  belum
pernah   terjadi  Ia  berangkat  diiringi  oleh  pemuda-pemuda
ningrat berpakaian merah, kuning  dan  lembayung,  dikelilingi
oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau
yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak
yang  membawa  wangi-wangian, oleh pengusir-pengusir lalat dan
pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim
semi  sekalipun  sebenarnya  dalam musim dingin yang berat, ia
beserta  rombongannya  duduk  di  atas  permadani  yang  lebar
dilukis  dengan  lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami
bunga-bungaan   aneka   warna,   dan   dilatarbelakangi   oleh
semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna perak.
 
Tetapi    sungguhpun    Syirawih    begitu    jauh   mengikuti
kesenangannya,  kerajaan  Persia  tetap  dapat  mempertahankan
kemegahannya,  dan  tetap  merupakan  lawan yang kuat terhadap
kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen.  Sekalipun  dengan
naik   tahtanya   Syirawih   ini   telah  mengurangi  kejayaan
kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum  Muslimin
memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.
 
Yaman  yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad
ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali
dalam   sejarah   Semenanjung   Arab   dari   segi   pembagian
penduduknya.  Disebutkan  bahwa  Bendungan  Ma'rib  yang  oleh
suku-bangsa   Himyar   telah   dimanfaatkan  untuk  keuntungan
negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar.  Disebabkan
oleh  adanya  pertentangan  yang  terus-menerus  itu, lalailah
mereka  yang  harus  selalu   mengawasi   dan   memeliharanya.
Bendungan  itu  lapuk  dan  tidak  tahan  lagi menahan banjir.
Dikatakan juga, bahwa setelah  Rumawi  melihat  Yaman  menjadi
pusat  pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan bahwa
perdagangannya  terancam  karena   pertentangan   itu,   iapun
menyiapkan  armadanya  menyeberangi  Laut Merah - antara Mesir
dengan  negeri-negeri  Timur  yang   jauh   -   guna   menarik
perdagangan  yang  dibutuhkan  oleh negerinya. Dengan demikian
tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.
 
Mengenai peristiwanya, ahli-ahli  sejarah  sependapat,  tetapi
mengenai  sebab  terjadinya  peristiwa  itu  mereka  berlainan
pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Azd di
Yaman  ke  Utara.  Semua  mereka sependapat tentang kepindahan
ini,  sekalipun  sebagian  menghubungkannya   dengan   sepinya
beberapa kota di Yaman karena mundurnya perdagangan yang biasa
melalui tempat  itu.  Yang  lain  menghubung-hubungkan  kepada
rusaknya   bendungan   Ma'rib,   sehingga   banyak  di  antara
kabilah-kabilah yang pindah karena takut binasa. Tetapi apapun
juga  kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan
Yaman jadi  berhubungan  dengan  negeri-negeri  Arab  lainnya,
suatu  hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang
masih dicoba oleh para sarjana menyelidikinya.
 
Apabila sistem politik di Yaman sudah  menjadi  kacau  seperti
yang  dapat  kita  saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang
menimpa  negeri  itu  serta  dijadikannya  tempat  itu   medan
pertarungan,  maka  struktur  politik serupa itu tidak dikenal
pada beberapa  negeri  Semenanjung  Arab  lainnya  waktu  itu.
Segala  macam  sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem
politik  seperti  pengertian  kita   sekarang   atau   seperti
pengertian  negara-negara  yang  sudah  maju pada masa itu, di
daerah-daerah  seperti  Tihama,  Hijaz,  Najd  dan   sepanjang
dataran  luas  yang  meliputi  negeri-negeri  Arab, pengertian
demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa  itu  bahkan
sampai  sekarang adalah penduduk pedalaman yang tidak biasa di
kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat.
Yang   mereka   kenal   hanyalah   hidup   mengembara  selalu,
berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti  keinginan
hatinya.   Mereka   tidak  mengenal  hidup  cara  lain  selain
pengembaraan itu.
 
Seperti  juga  ditempat-tempat  lain,  disinipun  dasar  hidup
pengembaraan  itu  ialah  kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu
pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan  atau
tata-cara  seperti  yang  kita  kenal.  Mereka  hanya mengenal
kebebasan pribadi, kebebasan keluarga  dan  kebebasan  kabilah
yang  penuh.  Sedang  orang  kota,  atas  nama tata-tertib mau
mengalah  dan  membuang  sebagian  kemerdekaan  mereka   untuk
kepentingan  masyarakat  dan  penguasa,  sebagai  imbalan atas
ketenangan  dan  kemewahan  hidup   mereka.   Sedang   seorang
pengembara  tidak  pedulikan  kemewahan,  tidak  betah  dengan
ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apapun  -
seperti  kekayaan  yang  menjadi  harapan  orang kota - selain
kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup  dalam  persamaan
yang    penuh    dengan    anggota-anggota   kabilahnya   atau
kabilah-kabilah  lain  sesamanya.  Dasar  kehidupannya   ialah
seperti  makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus
sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang  sudah
ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.
 
Oleh  karena  itu,  kaum  pengembara  tidak  menyukai tindakan
ketidak adilan  yang  ditimpakan  kepada  mereka.  Mereka  mau
melawannya   mati-matian,   dan  kalau  tidak  dapat  melawan,
ditinggalkannya  tempat  tinggal  mereka   itu,   dan   mereka
mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus
demikian.
 
Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling  mudah
bagi  kabilah-kabilah  ini bila harus juga timbul perselisihan
yang tidak mudah  diselesaikan  dengan  cara  yang  terhormat.
Karena  bawaan  itu  juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian
besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri,  keberanian,
suka   tolong-menolong,   melindungi   tetangga   serta  sikap
memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan
makin   kuat   apabila   semakin  dekat  ia  kepada  kehidupan
pedalaman, dan akan makin  hilang  apabila  semakin  dekat  ia
kepada kehidupan kota.
 
Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik
Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman  saja
dari  antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu.
Mereka lebih  suka  meninggalkan  tanah  air  daripada  tunduk
kepada  perintah.  Baik  pribadi-pribadi  atau kabilah-kabilah
tidak akan taat kepada  peraturan  apapun  yang  berlaku  atau
kepada lembaga apapun yang berkuasa.
 
Sifat-sifat  pengembaraan  itu  cukup mempengaruhi daerah yang
kecil-kecil yang tumbuh  di  sekitar  jaziarah  karena  adanya
perdagangan  para  kafilah, seperti yang sudah kita terangkan.
Daerah-daerah ini dipakai oleh para  pedagang  sebagai  tempat
beristirahat  sesudah  perjalanan  yang  begitu meletihkan. Di
situ mereka bertemu dengan tempat-tempat  pemujaan  sang  dewa
guna  memperoleh  keselamatan  bagi  mereka  serta  menjauhkan
marabahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan  mereka
selamat sampai di tempat tujuan.
 
Kota-kota  seperti  Mekah, Ta'if, Yathrib dan yang sejenis itu
seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung
atau   gurun   pasir,   terpengaruh   juga   oleh  sifat-sifat
pengembaraan  demikian  itu.  Dalam  susunan   kabilah   serta
cabang-cabangnya,    perangai   hidup,   adat-istiadat   serta
kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih
dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di
kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu  cara  hidup  yang
menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara-hidup pedalaman.
Dalam pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut
ini akan terlihat agak lebih terperinci.

Lingkungan  masyarakat  dalam  alam demikian ini serta keadaan
moral, politik dan sosial  yang  ada  pada  mereka,  mempunyai
pengaruh   yang   sama   terhadap  cara  beragamanya.  Melihat
hubungannya dengan agama Kristen  Rumawi  dan  Majusi  Persia,
adakah  Yaman  dapat  terpengaruh  oleh  kedua  agama  itu dan
sekaligus mempengaruhi kedua agama tersebut  di  jazirah  Arab
lainnya?  Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama
mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada  pada  masa  itu
sama  giatnya  seperti  yang  sekarang  dalam mempropagandakan
agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiwa serta  cara  hidup
kaum  pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan
kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia  merasakan
adanya  wujud  yang  tak  terbatas  dalam segala bentuknya. Ia
merasa perlu mengatur suatu cara hidup antara  dirinya  dengan
alam  dengan  ketak-terbatasannya  itu. Sedang bagi orang kota
ketak-terbatasan  itu   sudah   tertutup   oleh   kesibukannya
hari-hari,   oleh   adanya  perlindungan  masyarakat  terhadap
dirinya  sebagai  imbalan  atas  kebebasannya  yang  diberikan
sebagian  kepada  masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada
undang-undang  penguasa  supaya  memperoleh  jaminan  dan  hak
perlindungan.   Hal  ini  menyebabkannya  tidak  merasa  perlu
berhubungan dengan yang di luar penguasa itu, dengan  kekuatan
alam  yang begitu dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hubungan
jiwa  dengan  unsur-unsur  alam  yang   di   sekitarnya   jadi
berkurang.
 
Dalam  keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen
dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad permulaan
dalam  menyebarkan  ajaran  agamanya  itu?  Barangkali soalnya
hanya akan sampai di  situ  saja  kalau  tidak  karena  adanya
soal-soal   lain  yang  menyebabkan  negeri-negeri  Arab  itu,
termasuk  Yaman,   tetap   bertahan   pada   paganisma   agama
nenek-moyangnya,  dan  hanya  beberapa  kabilah  saja yang mau
menerima agama Kristen.
 
Manifestasi peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu  -
seperti  yang  sudah  kita saksikan - berpusat di sekitar Laut
Tengah  dan  Laut  Merah.  Agama-agama  Kristen   dan   Yahudi
bertetangga  begitu  dekat  sekitar tempat itu. Kalau keduanya
tidak  memperlihatkan  permusuhan  yang  berarti,  juga  tidak
memperlihatkan  persahabatan  yang  berarti  pula. Orang-orang
Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih menyebut-nyebut
adanya  pembangkangan  dan  perlawanan  Nabi  Isa kepada agama
mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja  mau  membendung  arus
agama  Kristen  yang telah mengusir mereka dari Palestina, dan
yang masih  berlindung  dibawah  panji  Imperium  Rumawi  yang
membentang luas itu.
Orang-orang   Yahudi  di  negeri-negeri  Arab  merupakan  kaum
imigran yang besar, kebanyakan mereka  tinggal  di  Yaman  dan
Yathrib.  Di  samping  itu  kemudian  agama Majusi (Mazdaisma)
Persia tegak menghadapi arus  kekuatan  Kristen  supaya  tidak
sampai  menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan
moril demikian itu didukung oleh  keadaan  paganisma  di  mana
saja  ia  berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang
di tangannya, ialah sesudah pindahnya  pusat  peradaban  dunia
itu ke Bizantium.
 
Gejala-gejala  kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya
sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan  pertentangan  dan
peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya
martabat iman yang tinggi ke dalam kancah  perdebatan  tentang
bentuk  dan  ucapan,  tentang  sampai di mana kesucian Mariam:
adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih atau  anak
yang  lebih  utama dari ibu - suatu perdebatan yang terjadi di
mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa  akibat  hancurnya
apa yang sudah biasa berlaku.
 
Ini  tentu  disebabkan  oleh karena isi dibuang dan kulit yang
diambil, dan terus menimbun kulit itu  di  atas  isi  sehingga
akhirnya  mustahil  sekali  orang  akan dapat melihat isi atau
akan menembusi timbunan kulit itu.
 
Apa yang telah menjadi pokok  perdebatan  kaum  Nasrani  Syam,
lain  lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira
dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun,  melihat  hubungannya
dengan  orang-orang  Nasrani,  tidak  akan berusaha mengurangi
atau menenteramkan perdebatan semacam  itu.  Oleh  karena  itu
sudah wajar pula orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum
Nasrani Syam dan Yaman  dalam  perjalanan  mereka  pada  musim
dingin  atau  musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang
datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu
di  antara  golongan-golongan  itu.  Mereka  sudah puas dengan
kehidupan agama berhala yang  ada  pada  mereka  sejak  mereka
dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.
 
Oleh  karena  itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur
di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian  inipun  sampai
kepada  tetangga-tetangga  mereka  yang  beragama  Kristen  di
Najran  dan  agama  Yahudi  di  Yathrib,  yang  pada   mulanya
memberikan   kelonggaran   kepada   mereka,   kemudian   turut
menerimanya. Hubungan  mereka  dengan  orang-orang  Arab  yang
menyembah  berhala  untuk  mendekatkan  diri  kepada Tuhan itu
baik-baik saja.
 
Yang menyebabkan orang-orang  Arab  itu  tetap  bertahan  pada
paganismanya  bukan  saja  karena  ada  pertentangan di antara
golongan-golongan Kristen.  Kepercayaan  paganisma  itu  masih
tetap  hidup  di  kalangan  bangsa-bangsa  yang sudah menerima
ajaran  Kristen.  Paganisma  Mesir  dan  Yunani  masih   tetap
berpengaruh  ditengah-tengah  pelbagai  mazhab  yang  beraneka
macam dan di  antara  pelbagai  sekta-sekta  Kristen  sendiri.
Aliran   Alexandria   dan   filsafat  Alexandria  masih  tetap
berpengaruh,  meskipun  sudah  banyak  berkurang  dibandingkan
dengan   masa  Ptolemies  dan  masa  permulaan  agama  Masehi.
Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap  merasuk  ke  dalam  hati
mereka.   Logikanya   yang  tampak  cemerlang  sekalipun  pada
dasarnya  masih  bersifat  sofistik  -  dapat   juga   menarik
kepercayaan   paganisma   yang   polytheistik,   yang   dengan
kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.
 
Saya kira inilah yang lebih  kuat  mengikat  jiwa  yang  masih
lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita
sekarang ini. Jiwa  yang  lemah  itu  tidak  sanggup  mencapai
tingkat  yang  lebih  tinggi,  jiwa yang akan menghubungkannya
pada semesta alam sehingga ia dapat memahami  adanya  kesatuan
yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari
semua yang ada dalam wujud ini,  menjelma  dalam  Wujud  Tuhan
Yang  Maha  Esa.  Kepercayaan  demikian  itu hanya sampai pada
suatu manifestasi alam saja  seperti matahari, bulan atau  api
misalnya.  Lalu  tak  berdaya  lagi mencapai segala yang lebih
tinggi, yang akan memperlihatkan adanya manifestasi alam dalam
kesatuannya itu.
 
Bagi  jiwa  yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia
akan membawa gambaran yang  masih  kabur  dan  rendah  tentang
pengertian  wujud  dan  kesatuannya.  Dalam hubungannya dengan
berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus,
yang  sampai  sekarang  masih  dapat  kita saksikan di seluruh
dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya  modern  dalam
ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya
mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus  di  Roma,
mereka  melihat  kaki  patung  Santa  Petrus yang didirikan di
tempat  itu   sudah   bergurat-gurat   karena   diciumi   oleh
penganut-penganutnya,  sehingga  setiap  waktu terpaksa gereja
memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.
 
Melihat semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum nmendapat
petunjuk  Tuhan  kepada  iman  yang  sebenarnya Mereka melihat
pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang  menjadi  tetangga
mereka  serta  cara-cara  hidup  paganisma yang masih ada pada
mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang  masih  menyembah
berhala  itu  sebagai warisan dari nenek-moyang mereka. Betapa
kita tak akan memaafkan mereka.  Situasi  demikian  ini  sudah
begitu  berakar  di  seluruh  dunia, tak putus-putusnya sampai
saat ini, dan saya kira memang  tidak  akan  pernah  berakhir.
Kaum  Muslimin  dewasa  inipun  membiarkan paganisma itu dalam
agama mereka, agama yang datang  hendak  menghapus  paganisma,
yang  datang  hendak  menghilangkan  segala penyembahan kepada
siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.
 
Cara-cara penyembahan  berhala  orang-orang  Arab  dahulu  itu
banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan
dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui  seluk-beluknya.
Nabi  sendiri  telah  menghancurkan  berhala-berhala  itu  dan
menganjurkan  para  sahabat  menghancurkannya  di  mana   saja
adanya.  Kaum  Muslimin  sudah  tidak  lagi bicara tentang itu
sesudah semua  yang  berhubungan  dengan  pengaruh  itu  dalam
sejarah  dan  lektur  dihilangkan.  Tetapi apa yang disebutkan
dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam  abad
kedua  Hijrah  - sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda
karenanya - menunjukkan, bahwa sebelum Islam  paganisma  dalam
bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.
 
Di    samping    itu    menunjukkan   pula   bahwa   kekudusan
berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap  kabilah
atau  suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan.
Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah inipun berbeda-beda  pula
antara  sebutan  shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub.
Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu,
Wathan  demikian  juga  dibuat dari batu, sedang nushub adalah
batu karang tanpa  suatu  bentuk  tertentu.  Beberapa  kabilah
melakukan    cara-cara   ibadahnya   sendiri-sendiri.   Mereka
beranggapan batu  karang  itu  berasal  dari  langit  meskipun
agaknya  itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara
berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal  dari
Yaman.  Hal  ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka
tidak dikenal di Hijaz, Najd atau  di  Kinda.  Sayang  sekali,
buku-buku   tentang   berhala   ini  tidak  melukiskan  secara
terperinci bentuk-bentuk berhala itu,  kecuali  tentang  Hubal
yang  dibuat  dari  batu  akik dalam bentuk manusia, dan bahwa
lengannya pernah rusak dan oleh  orang-orang  Quraisy  diganti
dengan  lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang
paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah. Orang-orang
dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.
 
Tidak   cukup  dengan  berhala-berhala  besar  itu  saja  buat
orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang  dan  memberikan
kurban-kurban,  tetapi  kebanyakan  mereka  itu mempunyai pula
patung-patung dan berhala-berhala dalam  rumah  masing-masing.
Mereka  mengelilingi  patungnya  itu  ketika  akan keluar atau
sesudah kembali pulang, dan dibawanya  pula  dalam  perjalanan
bila  patung  itu  mengijinkan ia bepergian. Semua patung itu,
baik yang ada dalam  Ka'bah  atau  yang  ada  disekelilingnya,
begitu  juga  yang  ada  di  semua  penjuru  negeri  Arab atau
kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara  penganutnya
dengan  dewa  besar.  Mereka beranggapan penyembahannya kepada
dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada  Tuhan  dan  menyembah
kepada  Tuhan  sudah  mereka  lupakan  karena  telah menyembah
berhala-berhala itu.
 
Meskipun Yaman  mempunyai  peradaban  yang  paling  tinggi  di
antara  seluruh  jazirah  Arab, yang disebabkan oleh kesuburan
negerinya serta pengaturan pengairannya yang  baik,  namun  ia
tidak   menjadi  pusat  perhatian  negeri-negeri  sahara  yang
terbentang  luas  itu,  juga  tidak  menjadi  pusat  keagamaan
mereka.  Tetapi  yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka'bah
sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang  berkunjung  dan  ke
tempat  itu  pula  orang  melepaskan pandang. Bulan-bulan suci
sangat dipelihara melebihi tempat lain.
 
Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan  jazirah  Arab
yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah.
Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran
Nabi   Muhammad,   dan  dengan  demikian  ia  menjadi  sasaran
pandangan dunia sepanjang zaman. Ka'bah  tetap  disucikan  dan
suku  Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun
mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi yang kasar  sejak
berabad-abad lamanya.
 
Catatan kaki:
 
 1 Dikutip oleh Sir Muir dalam The Life of Mohammad, p.xc.
   
 2 Cerita demikian terdapat dalam beberapa buku sejarah.
   Encylopedia Britannica juga menyebutnya, dan dikutip oleh
   penulis-penulis buku Historian's History of the World dan juga
   dijadikan pegangan oleh Emile Derminghem dalam la Vie de
   Mahomet. Akan tetapi At-Tabari menceritakan melalui Hisyam ibn
   Muhammad bahwa setelah orang Yaman itu pergi meminta bantuan
   Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas serta menjelaskan apa yang
   telah dilakukannya terhadap orang-orang Kristen oleh pembela
   agama Yahudi itu dan memperlihatkan sebuah Injil yang sudah
   sebagian dimakan api, Najasyi berkata: "Tenaga manusia di sini
   banyak, tapi aku tidak punya kapal. Sekarang aku menulis surat
   kepada Kaisar supaya mengirimkan kapal dan dengan itu akan
   kukirimkan pasukanku." Lalu ia menulis surat kepada Kaisar
   dengan melampirkan Injil yang sudah terbakar. Dan menambahkan:
   "Hisyam ibn Muhammad menduga, bahwa setelah kapal-kapal itu
   sampai ke tempat Najasyi, pasukannyapun dinaikkan dan
   berangkat ke pantai Mandab." Lihat Tarikh't-Tabari cetakan
   Al-Husainia, vol. 2, p. 106 dan 108.
   
 3 Beberapa keterangan dalam buku-buku sejarah berbeda-beda
   tentang sebab penyerbuan Abisinia (Habasya) ini ke Yaman.
   Keterangan itu mengatakan, bahwa hubungan dagang antara Arab
   Musta'riba di Hijaz dengan Yaman dan Abisinia terus
   berlangsung. Pada waktu itu pantai-pantai Habasya membentang
   sepanjang Laut Merah lengkap dengan armada perdagangannya.
   Karena kekayaan dan kesuburannya, Kerajaan Rumawi ingin sekali
   menguasai Yaman. Aelius Galius penguasa (prefek) Kaisar Rumawi
   di Mesir mengadakan persiapan. akan menyerbu Yaman. Pasukannya
   dikerahkan menyeberangi Laut Merah ke Yaman dan juga menyerang
   Najran. Tetapi karena adanya penyakit yang menyerang mereka.
   Orang-orang Yaman mudah sekali mengusir mereka itu dan
   merekapun kembali ke Mesir. Sesudah itupun Rumawõ
   berturut-turut menyerang jazirah Arab di Yaman dan di luar
   Yaman, tapi kenyataannya tidak lebih menguntungkan dan yang
   pernah dilakukan oleh Galius. Saat itu Najasyi di Abisinia
   merasa perlu mengadakan pembalasan terhadap Yaman yang telah
   memaksakan agama Yahudi terhadap orangorang Rumawi yang
   beragama Kristen. Pasukan Aryat dikerahkan menyerbu Yaman dan
   berkuasa di tempat itu sampai pada waktu Persia datang
   mengusir mereka.
 

Senin, 03 September 2012

Bid'ah

MENIRU JALAN SYARIAT

Kembali kepada definisi bid’ah yang diberikan oleh asy-Syathibi. Kalimat “meniru syariat”, artinya hal itu meniru jalan syariat, padahal pada kenyataannya tidak seperti itu. Ada banyak hal yang diciptakan oleh manusia yang tidak mempunyai sandaran dan dasar dalam syariat, hanya saja ia mempunyai sisi kemiripan kepada suatu ajaran syariat itu. Karena, hal itu suatu bentuk beribadah dan pada satu segi ia meniru jalan syariat. Sisi inilah yang dianggap baik oleh para pembuat bid’ah dan para pengikut mereka. Karena, jika hal itu tidak memiliki suatu kemiripan dengan manusia, niscaya orang banyak akan menolaknya. Mereka menganggap hal itu baik karena ada segi kemiripannya dengan jalan syariat.

BID’AH YANG DIMAKSUDKAN ADALAH BERSIKAP BERLEBIH-LEBIHAN DALAM BERIBADAH

Dalam definisi asy-Syathibi juga terdapat redaksi, “yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu (bid’ah) adalah sebagai cara berlebillan dalam beribadah kepada Allah SWT”. Maksudnya, orang yang membuat suatu praktek bid’ah, biasanya melakukan hal itu dengan tujuan untuk berlebih-lebihan dalam bertaqarrub kepada Allah SWT. Karena, mereka merasa tidak cukup dengan praktek ibadah yang telah diajarkan oleh syariat sehingga mereka berusaha untuk menambah suatu praktek baru. Dengan tindakan itu, seakan-akan mereka ingin mengoreksi syariat dan menutupi kekurangannya sehingga akhirnya mereka menciptakan suatu praktek ibadah baru, hasil rekayasa pikiran mereka.
Apakah niat yang baik itu dapat menjustifikasikan tindakan mereka? Tentu saja tidak. Niat seperti itu tidak dapat memberikan justifikasi suatu perbuatan bid’ah. Kami telah katakan sebelumnya bahwa dalam masalah beribadah, kita harus melengkapi dua hal: niat (hanya semata untuk Allah SWT) dan mutaba’ah yaitu ‘beribadah dengan mengikuti cara yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Rasulullah saw.’. Ukuran dan karakteristik ibadah yang benar amat jelas, yaitu harus mengikuti tuntunan Rasulullah saw., “Siapa yang mengerjakan suatu amal ibadah yang tidak diatur oleh sunnah kami maka amalnya itu tertolak.” Ini adalah bid’ah dalam agama. Bid’ah dengan pengertian seperti ini adalah dhalaalah ‘sesat’, seperti disinyalir oleh hadits riwayat Irbaadh bin Saariah, “Karena setiap bid’ah adalah sesat.”

PEMBAGIAN MACAM BID’AH MENURUT ULAMA DAN PENDAPAT YANG PALING TEPAT

Ada ulama yang membagi bid’ah menjadi dua macam, yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang buruk’).[28] Ada juga ulama yang membagi bid’ah menjadi lima macam, seperti halnya lima macam hukum syariat, yaitu bid’ah wajibah (bid’ah yang wajib dilakukan), bid’ah mustahabbah (bid’ah yang dianjurkan untuk dilakukan), bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh dilakukan), bid’ah muharramah (bid’ah yang haram dilakukan), dan bid’ah mubaahah (bid’ah yang boleh dilakukan).[29]
Ungkapan yang paling tepat dalam masalah ini adalah bahwa pendapat tadi pada akhirnya bertemu pada muara yang sama dan sampai pada kesimpulan yang sama pula. Karena, mereka — misalnya — memasukkan masalah pencatatan Al-Qur’an dan pengkompilasiannya dalam satu mushaf, juga masalah pengkodifikasian ilmu nahwu, ilmu ushul fiqih, dan pengkodifikasian ilmu-ilmu keislaman yang lain, dalam kategori bid’ah yang wajib dan sebagai bagian dari fardhu kifayah (kewajiban kolektif).
Ulama yang lain menggugat penamaan perbuatan tadi sebagai bagian dari bid’ah. Menurut mereka, pengklasifikasian bid’ah semacam itu adalah pengklasifikasian bid’ah berdasarkan pengertian lughawi ‘etimologis’, sedangkan pengertian kata bid’ah yang kami gunakan adalah pengertian secara terminologis syar’i. Sedangkan, hal-hal tadi (seperti pencatatan Al-Qur’an dan pengkompilasiannya) tidak kami masukkan dalam kategori bid’ah. Adalah suatu inisiatif yang tidak tetap memasukkan hal-hal semacam tadi dalam kelompok bid’ah.
Yang terbaik adalah kita berpedoman pada pengertian bid’ah yang dipergunakan oleh hadits syarif. Karena, dalam hadits syarif diungkapkan redaksi yang demikian jelas ini, “Karena setiap bid’ah adalah sesat,” dengan pengertian yang general (umum). Jika dalam hadits itu diungkapkan, “Karena setiap bid’ah adalah sesat,” maka tidak tepat kiranya jika kita kemudian berkata bahwa di antara bid’ah ada yang baik dan ada yang buruk, atau ada bid’ah wajib dan ada bid’ah yang dianjurkan, dan sebagainya. Kita tidak patut melakukan pembagian bid’ah seperti ini. Yang tepat adalah jika kita mengatakan seperti yang diungkapkan oleh hadits, “Karena setiap bid’ah adalah sesat.” Dan, kata bid’ah yang kami pergunakan itu adalah kata bid’ah dengan definisi yang diucapkan oleh Imam asy-Syathibi, “Bid’ah adalah suatu cara beragama yang dibuat-buat,” yang tidak mempunyai dasar dan landasan, baik dari Al-Qur’an, sunnah Nabi saw., ijma’, qiyas, maupun maslahat mursalah, dan tidak juga dari salah satu dalil yang dipakai oleh para fuqaha.

MENGAPA ISLAM BERSIKAP KERAS DALAM MASALAH BID’AH?

Mengapa Islam bersikap keras dalam masalah bid’ah, menilainya sebagai kesesatan, dan pelakunya diancam akan dimasukkan ke neraka, serta Nabi saw. memberikan peringatan yang amat keras dalam masalah ini? Berikut ini adalah alasan-alasannya.

1. PEMBUAT DAN PELAKU BID’AH MENGANGKAT DIRINYA SEBAGAI PEMBUAT SYARIAT BARU DAN SEKUTU BAGI ALLAH SWT

Islam memberikan peringatan keras terhadap masalah bid’ah ini karena (seperti telah kami singgung sebelumnya) dalam kasus seperti ini, si pembuat bid’ah bertindak seakan-akan ingin mengoreksi Rabbnya dan dia memberikan kesan kepada kita atau kepada dirinya bahwa dia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Allah SWT. Seakan-akan dia berkata, “Tuhanku, apa yang Engkau telah syariatkan kepada kami itu tidak cukup. Oleh karena itu, kami menambah praktek ibadah baru atas apa yang telah Engkau syariatkan itu.” Dengan demikian, ia telah menetapkan dirinya sebagai pembuat syariat dan memberikan kepada dirinya hak untuk menciptakan syariat baru. Padahal, hak membuat syariat adalah mi1ik Allah SWT semata. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?…. “(asy-Syuura: 21)
Tindakan membuat syariat baru yang tidak dizinkan oleh Allah SWT adalah tindakan yang amat berbahaya. Karena, dalam kasus seperti itu, si pelakunya berarti telah mengangkat dirinya sebagai sekutu bagi Allah SWT dan memberikan hak kepada dirinya untuk menciptakan syariat baru dan berkreasi dalam agama, serta membuat tambahan dalam agama Allah SWT. Hal ini dapat menimbulkan bahaya yang amat besar dan dapat menjerumuskan seseorang menjadi musyrik kepada Allah SWT. Tindakan seperti inilah yang telah merusak agama-agama langit sebelum Islam.
Apa yang telah terjadi pada agama-agama langit sebelum Islam itu? Yaitu, terjadi bid’ah secara besar-besaran dan para pemeluk agama-agama itu memberikan kepada diri mereka hak untuk menambahkan hal-hal baru dalam agama mereka, yang secara khusus dipegang oleh para pendeta dan orang-orang alim mereka sehingga agama yang mereka anut bentuknya berubah sama sekali dari agama aslinya. Inilah yang dikecam oleh Islam dan diabadikan oleh Al-Qur’an dalam firman Allah SWT, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sehagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)
Al-Qur’an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat Adi bin Hatim ath-Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada masa jahiliah) bertemu Rasulullah saw., ia membaca ayat, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” Dan, iapun (Adi bin Hatim ath-Thaai) berkata, “(Pada kenyataannya) mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib itu.” Rasulullah saw. menjawab, “Benar begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu) telah mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan apa yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti ketetapan para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah bentuk ibadah penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib itu.”[30]
Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk ritus-ritus saja: shalat, ruku, sujud, dan semacamnya. Kemudian, Nabi saw. memberikan penjelasan kepadanya bahwa bentuk penyembahan mereka itu tidak semata-mata seperti itu; ibadah dan penyembahan mempunyai makna yang lebih luas. Taat dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang mereka (para pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan, apa yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada mereka. Karena, status rubbubiyah ‘ketuhanan’-lah yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, menghalalkan, dan mengharamkan. Dan, status itu pula yang memberikan-Nya hak untuk menetapkan bentuk praktek ibadah manusia kepada-Nya, sesuai yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang dia kehendaki sendiri.
Dengan demikian, orang yang membuat bid’ah meletakkan dirinya seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah SWT dan dia mengoreksi apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

2. PEMBUAT BID’AH MEMANDANG AGAMA TIDAK LENGKAP DAN BERTUJUAN MELENGKAPINYA

Dari segi lain, orang yang mengerjakan bid’ah seakan-akan menganggap agama tidak lengkap, kemudian ia ingin menyempurnakan kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Padahal, Allah SWT telah menyempurnakan agama secara lengkap, sebagai bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Dia berfirman, “,…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…,” (al-Maa’idah: 3)
Oleh karena itu, Ibnu Majisyun meriwayatkan dari Imam Malik (Imam Darul Hijrah) bahwa dia berkata, “Siapa yang telah membuat praktek bid’ah dalam agama Islam dan ia melihatnya sebagai suatu tindakan yang baik, berarti ia telah menuduh Nabi Muhammad saw. telah mengkhianati risalah. Karena, Allah SWT berfirman, ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.’ Jika saat itu agama Islam belum lengkap niscaya saat ini tidak ada agama Islam itu.”[31]
Membuat bid’ah dalam agama Islam secara tidak langsung berarti telah menuduh Nabi saw. berkhianat dan tidak menyampaikan risalah agama secara lengkap. Allah SWT berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya (al-Maa’idah: 67)
Agama Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan tambahan lagi. Karena, sesuatu yang sudah sempurna tidak menerima adanya penambahan sama sekali. Hanya sesuatu yang tidak sempurnalah yang dapat menerima penambahan dan penyempurnaan baginya.
Oleh karena itu, para sahabat dan para imam setelah mereka, amat memerangi praktek bid’ah karena hal itu berarti menuduh agama Islam tidak lengkap, dan menuduh Rasulullah saw. telah berbuat khianat.

3. PRAKTEK BID’AH MEMPERSULIT AGAMA DAN MENGHILANGKAN SIFAT KEMUDAHANNYA

Agama yang disyariatkan oleh Allah SWT pada dasarnya bersifat mudah dan Allah SWT juga mengutus nabi-Nya dengan hanifiah samhah ‘agama yang orisinal dan mudah dijalankan’, hanif ‘orisinal’ dalam akidah, dan samhah ‘mudah dijalankan dalam pemberian beban hukum dan praktek ibadah’. Firman Allah: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (al-Baqarah:185). Juga dalam ayat lainnya, “,…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan,…” (al-Hajj: 78). Juga dalam hadits Nabi SAW, “Kalian diutus sebagai orang-orang yang memberikan kemudahan, bukan sebagai orang-orang yang membuat kesulitan. “[32]
Agama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian orang-orang yang membuat praktek bid’ah mengubah sifat mudah Islam itu menjadi susah dan berat. Mereka membebani manusia dan menyulitkan mereka dengan berbagai macam praktek baru, serta menambahkan hal-hal baru dalam praktek keagamaan yang membuat manusia menjadi terbelenggu oleh beban berat. Padahal, Nabi saw. datang untuk membebaskan manusia dari belenggu dan beban yang berat itu yang dialami oleh umat sebelumnya. Seperti diterangkan tentang sifat Nabi saw. dalam kitab-kitab suci sebelumnya, Taurat dan Injil, “…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka”. (al-A’raaf:157)
Dan, dalam doa-doa Al-Qur’an yang terdapat dalam penghujung surah al-Baqarah tertulis, “…Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami,…” (al-Baqarah: 286)
Para pembuat bid’ah itu berkeinginan mengembalikan beban-beban agama-agama langit sebelumnya ke dalam Islam dan menambahkan taklif ‘beban hukum’ yang memberatkan manusia serta menyulitkan mereka. Padahal, seungguhnya beban-beban agama Islam ini bersifat sederhana dan mudah dijalankan. Misalnya, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, Allah dan malaikat-malaikat Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya,” (al-Ahzab: 56)
Dan, redaksi shalawat yang paling afdhal adalah, “Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah sampaikan shalawat-Mu kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”[33]
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca shalawat dengan redaksi tadi? Mungkin hanya seperempat atau setengah menit! Namun, kemudian banyak orang yang mengarang kitab tentang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw. dan menciptakan beragam redaksi shalawat baru yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT. Saya sering mendapati orang awam yang membaca redaksi shalawat yang beragam itu dan ternyata ia tidak memahami sama sekali apa yang ia baca itu. Demikian juga halnya dengan redaksi-redaksi doa, banyak orang yang mengarang wirid dan hizb yang beragam. Saat masih kecil, setiap kali saya berangkat ke masjid sebelum subuh, saya mendapati orang-orang awam menghafal dan membaca doa yang dikenal dengan “wirid al-Bakri”, yaitu sebuah redaksi doa yang disusun berdasarkan abjad bahasa Arab. Redaksi doa yang pertama dimulai dengan huruf hamzah, kedua dengan huruf ba, ketiga dengan huruf tsa, dan seterusnya.
Misalnya, redaksi doa yang dimulai dengan huruf ghain adalah, “Wahai Tuhanku, kekayaan Mu adalah kekayaan yang mutlak, sementara kekayaan kami adalah kekayaan yang muqayyad ‘terbatas’”. Jika Anda bertanya kepada salah seorang dari mereka yang membaca doa itu, “Apa makna mutlak dan muqayyad?” niscaya ia tidak tahu sama sekali.
Wahai saudaraku seiman, apakah ada redaksi doa yang lebih afdhal, lebih indah, dan lebih mudah dibandingkan redaksi doa Al-Qur’an dan Sunnah? Redaksi doa dari Al-Qur’an misalnya adalah, “…Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (al-Baqarah: 201)
Dan, redaksi doa dari Sunnah misalnya adalah, “Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan pegangan utama bagiku dan perbaikilah duniaku yang merupakan bekal hidupku, perbaikilah akhiratku tempat kembaliku nanti, jadikanlah hidup yang kulalui sebagai tambahan segala kebaikan yang dapat kuraih, dan jadikanlah kematianku sebagai tempat istirahatku dari segala kejahatan dan keburukan. “[34]
Lantas, mengapa kita harus menyusahkan diri sendiri dan menyusahkan orang lain untuk menghafal doa-doa dengan redaksi buatan sendiri itu?
Suatu kali, saya pernah bertanya kepada seseorang, “Mengapa Anda tidak melaksanakan shalat?” Ia menjawab, “Karena aku tidak bisa berwudhu.” Aku kembali bertanya, “Apakah engkau tidak mengetahui bagaimana membasuh muka, kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki?” Ia menjawab, “Kalau itu, aku mengetahuinya, namun aku tidak hafal (do’a) apa yang harus dibaca pada setiap kali membasuh anggota wudhu itu.” Maksudnya, ia tidak mengetahui doa yang harus dibaca saat akan memulai berwudhu, misalnya doa, “Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan air sebagai media untuk menyucikan (diri) dan Islam sebagai cahaya.” Saat istinsyaaq ‘memasukkan air ke hidung’, “Ya Allah, rahmatilah aku dengan semerbak surga dan Engkau meridhaiku.” Saat membasuh muka, “Ya Allah, putihkanlah wajahku pada saat wajah-wajah (kalangan beriman) memutih dan wajah-wajah (kalangan kafir dan pembuat dosa) menghitam.” Saat membasuh dua tangan, “Ya Allah, berikanlah buku catatan amal perbuatanku ke tangan kananku, dan jadikanlah Nabi Muhammad sebagai pemberi syafaat dan penanggungku.” Dan, saat mengusap kepala, “Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka.”[35]
Oleh sebagian orang, setiap gerakan wudhu disertai doa tertentu sehingga rekan kita yang malang ini menyangka bahwa agar shalat dan wudhunya sah maka ia harus menghafal seluruh doa yang banyak itu, padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk menghafal seluruh redaksi doa yang banyak itu. Mengapa hal ini harus terjadi?
Contoh yang lain adalah apa yang dinamakan oleh sebagian orang sebagai azan syar’i. Pada dasarnya, redaksi dan cara pelafalan azan mudah saja dilakukan, yaitu Allahu Akbar Allahu Akbar dan seterusnya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumandangkan azan seperti itu? Paling lama satu menit atau satu menit setengah. Namun, jika kita menguman-dangkan azan dengan cara yang biasa dilakukan pada saat ini, yaitu dengan membaca hayya ‘alash-shalaaaaaah, hayya ‘alal falaaaaaaah, berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk itu? Tentu akan memerlukan lebih dari lima menit.
Oleh mereka, kata “falah” harus dibaca lebih panjang dari kata “shalaah”. Demikian juga redaksi kedua harus dibaca lebih panjang dari redaksi pertama. Tidak hanya itu, mereka juga kemudian mengarang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw yang harus dibaca selepas mengumandangkan azan.
Wahai saudaraku seiman, Rabb kita mensyariatkan lafal-lafal azan ini dan mewahyukan bentuk lafal itu kepada Nabi-Nya melalui jalan mimpi[36] yang ditetapkan oleh Nabi saw.. Hal ini dimaksudkan agar Allah SWT mempunyai peran tertentu dalam penentuan azan itu, demikian juga Nabi saw. mempunyai peran tersendiri. Lantas, mengapa Anda kemudian menambahkan redaksi shalawat dan kata-kata tambahan terhadap azan itu yang membuat bagian Nabi saw. dalam azan lebih besar dari bagian Rabb kita? Ini tidak sepatutnya terjadi.
Islam amat memerangi bid’ah agar manusia tidak memasukkan hal-hal baru yang mempersulit pelaksanaan agama, serta agar tidak menambahkan hal-hal yang membuat beban agama menjadi berlipat-lipat banyaknya daripada apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Karena, hal itu akan membuat manusia menjadi berat untuk menjalankan perintah-perintah agama.

4. BID’AH DALAM AGAMA MEMATIKAN SUNNAH

Ada ungkapan yang diriwayatkan dari kalangan salaf, secara mauquf dan marfu’, “Setiap kali suatu kaum menghidupkan bid’ah maka saat itu pula mereka mematikan sunnah dengan kadar yang setara.” Ini adalah suatu keniscayaan (kepastian), sesuai dengan hukum alam dan hukum sosial. Ada orang yang berkata, “Setiap kali aku melihat suatu sikap berlebihan dalam satu segi maka saat itu pula aku dapati adanya suatu hak yang ditelantarkan.” Jika Anda menjumpai suatu sikap berlebih-lebihan pada satu segi, Anda pasti akan mendapati adanya sikap mengurang-ngurangi pada segi lain. Jika seseorang mencurahkan energinya untuk melaksanakan perbuatan bid’ah, niscaya energinya untuk menjalankan sunnah menjadi berkurang karena kemampuan manusia terbatas. Oleh karena itu, Anda dapat menandai dengan mudah pada segi apa seorang pelaku bid’ah giat berusaha dan pada segi apa pula ia malas bekerja. Ia giat dan bersegera dalam menjalankan perbuatan-perbuatan bid’ah, sementara lemah dan bermalasan dalam menjalankan hal-hal yang sunnah.
Saya masih ingat ketika masih berstatus pelajar sekolah menengah al-Azhar di Madrasah al-Azhar cabang Thantha. Di kota Thantha itu terdapat makam sayyid Ahmad Badawi yang terkenal itu. Di antara syekh kami ada yang menghabiskan sebagian besar siang dan malamnya di samping makam sayyid Badawi. Saya pernah berdialog dengan salah seorang syekh kami tersebut, seorang ahli fiqih mazhab Hanafi, namun ia termasuk dalam kelompok orang-orang yang menyakralkan tasawuf dan para wali.
Saat itu, ia sedang mengajarkan kepada kami bab al-Udhhiah ‘kurban’ (dan saya saat itu adalah orang yang senang mengaitkan fiqih dengan kehidupan sehari-hari). Saya berkata kepadanya, “Pak guru, saat ini, masyarakat sudah melupakan sunnah ini sehingga orang yang berkurban amat sedikit sekali. Saya pikir para syekh bertanggung jawab dalam masalah ini dan mereka dapat memperingatkan masyarakat untuk memperhatikan sunnah ini.” Syekh kami itu menukas, “Hal itu terjadi karena kemampuan finansial masyarakat saat ini lemah.” Saya kembali berkomentar, “Namun, dalam kesempatan lain, mereka malah berkurban untuk sesuatu yang bukan sunnah.” Mendengar itu ia bertanya, “Apa yang engkau maksud?” Saya menjawab, “Maksud saya, mereka berkurban pada saat peringatan kelahiran sayyid Badawi. Saat peringatan itu, masyarakat menyembelih puluhan, bahkan ratusan atau ribuan domba, sementara pada Idul Adha amat sedikit yang berkurban. Seandainya para syekh mengarahkan masyarakat untuk menghidupkan sunnah berkurban ini, yaitu sebagai ganti mereka berkurban pada saat peringatan kelahiran sayyid Badawi maka mereka berkurban pada hari Idul Adha, niscaya dengan itu mereka telah menjalankan Sunnah. Sekalipun mereka tidak menyedekahkan sedikit pun dari kurban mereka, namun semata mengalirkan darah kurban pada hari itu sudah menjadi bentuk penghidupan syiar Islam. “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (al-Kautsar: 2)
Setelah saya berkata seperti itu, guru saya langsung marah kepada saya dan mengeluarkan saya dari ruang kelas. Ia kemudian menganggap saya sebagai pembuat onar yang membenci para wali serta kaum shalihin.
Ini mengingatkan saya pada satu pernyataan bahwa setiap kali suatu kaum menghidupkan bid’ah dan menyibukkan diri mereka dengan bid’ah itu, niscaya saat itu pula mereka mematikan sunnah sejenis. Inilah salah satu rahasia mengapa bid’ah diperangi dalam Islam.

5. BID’AH DALAM AGAMA MEMBUAT MANUSIA TIDAK KREATIF DALAM URUSAN-URUSAN KEDUNIAAN

Dari segi lain, sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, jika manusia mencurahkan energi dan perhatiannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah yang ditambahkan ke dalam agama, niscaya mereka tidak lagi mempunyai energi untuk berusaha di dunia dan berkreasi dalam urusan-urusan duniawi.
Bid’ah, seperti telah kami sinyalir sebelumnya, adalah “jalan beragama yang dibuat-buat”. Pada dasarnya, manusia harus mengembangkan kreativitasnya dalam bidang keduniaan, namun karena manusia telah mencurahkan seluruh kreativitasnya dalam urusan-urusan agama maka ia tidak lagi dapat berkreasi dalam urusan-urusan duniawi.
Oleh karena itu, generasi Islam yang pertama banyak menelurkan kreativitas dalam bidang-bidang duniawi dan memelopori banyak hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga, mereka dapat membangun peradaban yang besar dan tangguh yang menyatukan antara ilmu pengetahuan dan keimanan, antara agama dan dunia. Ilmu-ilmu Islam yang dihasilkan pada masa itu, seperti ilmu alam, matematika, kedokteran, astronomi, dan sebagainya menjadi ilmu-ilmu yang dipelajari di seluruh dunia dan masyarakat dunia belajar tentang ilmu-ilmu itu dari kaum muslimin.
Mayoritas motif yang melatarbelakangi kaum muslimin generasi pertama untuk menggeluti dan mengembangkan ilmu-ilmu tadi adalah motif agama. Apakah Anda mengetahui mengapa al-Khawarizmi menciptakan ilmu aljabar? Ia menelurkan ilmu itu untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu dalam bidang wasiat dan warisan. Tentang warisan, juga wasiat, sebagian darinya memerlukan hitung-hitungan matematika. Oleh karena itu, al-Khawarizmi menulis bukunya yang berbicara tentang ilmu aljabar dalam dua juz; juz pertama tentang wasiat dan warisan, juz kedua tentang aljabar.
Saat Dr. Musa Ahmad dan kelompoknya mentahqiq kitab al-Khawarizmi itu, mereka memberikan anotasi-anotasi pada juz yang berbicara tentang aljabar, sedangkan pada juz yang berbicara tentang wasiat dan warisan, mereka berkata, Kami tidak memahaminya dan kami tidak mengerti sedikit pun apa yang tertulis di dalamnya.” Pada masa generasi pertama Islam, ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan agama. Tidak ada dikotomi (pembagian / pencabangan) diantara keduanya.[37]
Para ilmuan dan dokter saat itu juga berstatus ulama dalam bidang agama. Ibnu Rusyd, pengarang kitab al-Kulliyyat dalam bidang kedokteran, adalah juga seorang qadhi, pengarang kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul-Muqtashid dalam bidang fiqih. Kitab itu merupakan kitab fiqih komparatif yang paling baik.
Yang aku ingin tekankan adalah, kaum muslimin pada masa keemasan Islam, dalam bidang agama, mereka semata berpegang pada nash dan Sunnah, sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan, mereka berkreasi, menciptakan hal-hal baru, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan penemuan yang telah ada. Sementara, pada masa kemunduran Islam, yang terjadi adalah sebaliknya. Orang banyak sekali menciptakan hal-hal baru dalam bidang agama, sementara beku dan statis dalam bidang-bidang keduniaan. Mereka (kaum muslimin era kemunduran Islam) berkata, “Generasi pertama Islam sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk menciptakan hal-hal baru dan kita sama sekali tidak dapat melakukan seperti apa yang mereka telah perbuat.” sehingga, kehidupan umat Islam menjadi beku dan statis, seperti air yang terjebak tak bergerak dan berubah menjadi busuk. Dengan demikian, pengingkaran perbuatan bid’ah dalam bidang agama bermakna menyiapkan energi manusia untuk berkreasi dan mengembangkan urusan-urusan keduniaan.

6. BID’AH DALAM AGAMA MEMECAH BELAH DAN MENGHANCURKAN PERSATUAN UMAT

Yang keenam adalah berpegang teguh pada Sunnah akan menyatukan umat sehingga membuat mereka menjadi satu barisan yang kokoh di bawah bimbingan kebenaran yang telah diajarkan oleh Nabi saw.. Karena, Sunnah hanya satu, sedangkan bid’ah tidak terbilang banyaknya. Kebenaran hanya satu, sedangkan kebatilan beragam warna dan bentuknya. Jalan Allah SWT hanya satu, sedangkan jalan-jalan setan amat banyak. Dalam hadits riwayat Ibnu Mas’ud r.a.,[38] ia berkata, “Suatu hari, Rasulullah saw. membuat garis lurus di hadapan kami,[39] kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah.’ Setelah itu, beliau menggaris beberapa garis di samping kiri dan samping kanan garis yang pertama tadi, dan bersabda, ‘Jalan-jalan ini (adalah selain jalan Allah), masing-masing didukung oleh setan yang menggoda manusia untuk mengikuti jalan itu.’ selanjutnya, beliau membaca ayat, “Dan, bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia….” (al-An’aam:153)
Oleh karena itu, saat umat secara konsekuen mengikuti Sunnah maka saat itu mereka bersatu padu. Sementara, saat timbul beragam sekte dan mazhab maka umat terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan. Bahkan, masing-masing golongan itu pada gilirannya kembali terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Dan, masing-masing golongan dan kelompok itu meyakini bahwa mereka sajalah penganut agama Islam yang sebenarnya. Selanjutnya, masing-masing golongan itu menciptakan bid’ah tersendiri yang demikian banyak.
Sebagian bid’ah itu dalam bidang akidah hingga kadang-kadang ada yang sampai kepada kekafiran, seperti golongan yang mengingkari ilmu Allah SWT dan berkata, “Hal ini adalah sesuatu yang baru sama sekali.” Maksud ucapan mereka itu adalah Allah SWT tidak mengetahui hal itu sebelumnya. Mereka itulah yang dikecam dengan keras oleh Ibnu Umar dan ia pemah berkata tentang mereka, “Sekalipun mereka melakukan amal kebaikan sebesar Gunung Uhud, (namun karena perkataan dan sikap mereka tadi) niscaya Allah SWT tidak menerima amal perbuatan mereka itu.
Juga ada kelompok yang menganut antropomorfisme yang menyerupakan wujud Allah SWT dengan makhluk-Nya, mereka terkenal sebagai kelompok Musyabbihah dan Mujassimah. Di antara mereka ada yang mengingkari kodrat Allah SWT, meskipun mereka tidak mengingkari ilmu-Nya. Di antara mereka ada yang mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka, seperti kalangan Khawarij, meskipun ketekunan ibadah mereka amat mengagumkan dan meskipun dalam hadits Nabi saw. pernah diungkapkan tentang mereka, “Dan kalian ada yang melihat shalatnya lebih sederhana dari shalat mereka, qiyamullailnya lebih sederhana dari qiyamullail mereka, dan bacaannya lebih sederhana dari bacaan mereka.”
Setelah itu, timbul kalangan tasawuf yang sebagian mereka mengungkapkan hal-hal yang sama sekali tidak dilandasi syariat, seperti berpedoman hanya kepada dzauq ‘rasa’ dan intuisi, bukan kepada syariat. Menurut mereka, orang tidak perlu berpegang pada apa yang difirmankan oleh Rabbnya, namun yang terpenting adalah berpedoman pada apa yang dikatakan oleh hatinya. Salah seorang dari mereka dengan bangga berkata, “Hatiku berkata kepadaku berdasarkan informasi dari Tuhanku.” Karena, ia mengambil informasi langsung dari “atas”. Oleh karena itu, saat dikatakan kepada salah seorang dari mereka, “Marilah kita membaca kitab Mushannaf Abdurrazzaq,” ia menjawab, “Apa manfaatnya karya Abdurrazzaq itu bagi orang yang mengambil ilmunya langsung dari sang Khaliq?” Maksudnya, ia mengambil ilmunya langsung dari Allah SWT, tanpa melalui perantara!
Dari mereka ada yang berkata, “Kalian mengambil ilmu kalian dari orang yang telah mati yang mendapatkannya dari orang yang telah mati pula, sementara kami mengambil ilmu kami dari Zat Yang Maha Hidup, Yang tidak mati!” Malik dari Nafi dari Ibnu Umar, mereka semua telah mati; mata rantai riwayat emas ini (seperti dinamakan oleh para ahli hadits) bagi kalangan tasawuf dipandang sebagi mata rantai karatan yang tidak bermanfaat sama sekali.
Diantara istilah yang dikembangkan oleh mereka adalah hakikat dan syariat. Kalangan ahli syariat melihat dan memperhatikan sisi yang zahir, sedangkan kalangan ahli hakikat melihat dan memperhatikan sisi batin. Oleh karena itu, mereka berkata, “Orang yang melihat manusia dengan mata syariat, niscaya ia akan membenci mereka, sedangkan orang yang melihat manusia dengan mata hakikat, niscaya ia akan memberikan uzur (sikap memaklumi) kepada mereka.”
Orang yang berzina, bermabuk-mabukan, pembuat kezaliman, dan kediktatoran, yang menyiksa manusia dan membunuh ratusan, bahkan ribuan orang, serta yang menghancurkan kampung-kampung dan kota-kota; mereka itu, jika Anda lihat mereka dengan mata syariat niscaya Anda akan membenci mereka karena syariat membenci kemungkaran, kezaliman, dan para pelakunya. Namun, jika Anda memandang mereka dengan mata hakikat, niscaya Anda akan memberikan uzur kepada mereka. Karena, meskipun mereka tidak menjalankan perintah Allah SWT, namun pada hakikatnya mereka menjalankan iradah ‘kehendak’ Allah SWT karena Allah SWT-lah yang menghendaki semua hal itu. Allah SWT menggerakkan manusia sesuai dengan kehendak-Nya, lantas apakah Anda ingin turut campur dalam kekuasaan Allah SWT? Biarkanlah kekuasaan berjalan di tangan raja, sementara manusia yang lain, biarkanlah mereka hidup sesuai dengan kehendak sang Khalik. Dengan begitu, tumbuh suburlah sikap pasif dalam menghadapi kerusakan dan penindasan, demikian juga dalam dunia pendidikan. Hingga dalam bidang yang terakhir ini, tasawuf mencabut kepribadian manusia, yaitu seperti postulat tasawuf “sikap seorang murid di hadapan syekhnya adalah seperti sikap mayat di tangan orang yang memandikannya”, Siapa yang bertanya kepada syekhnya: “Mengapa?” Maka, sang murid itu tidak akan ‘sampai’ ke tujuannya, dan seterusnya.
Kemudian berapa banyak tarekat yang telah timbul di kolong langit ini? Jika umat Islam kita biarkan mengikuti dan menjalankan praktek bid’ah, niscaya mereka tidak akan bersatu dalam satu shaf. Umat Islam hanya dapat bersatu jika mereka berdiri di belakang Rasulullah saw. dan mengikuti kitab Allah yang muhkam dan Sunnah Rasul-Nya. Setelah mereka bersikap seperti itu, tidak menjadi masalah jika mereka kemudian berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’ (cabang). Perbedaan pendapat dalam bidang furu’ ini tidak merusak ukhuwah, juga tidak menghalangi persatuan Islam. Para sahabat sendiri banyak berbeda pendapat dalam masalah furu’[40], namun mereka tetap bersaudara, dan tetap sebagai kaum muslimin.

MENGINGKARI BID’AH DAN MEMERANGINYA ADALAH LANGKAH UNTUK MEMELIHARA KEMURNIAN ISLAM

Karena semua hal tadi maka mengingkari bid’ah dan perbuatan bid’ah adalah tindakan yang dapat menjaga kemurnian Islam hingga saat ini sehingga Islam tidak mengalami distorsi dan adisi seperti yang dialami oleh agama-agama yang lain.
Benar di kalangan kaum muslimin terjadi banyak perbuatan bid’ah dan pihak-pihak yang menciptakan bid’ah, yaitu orang-orang jahil yang tidak mempunyai ilmu agama dan memberikan pengajaran agama dengan tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan, namun di sepanjang masa selalu timbul tokoh di kalangan umat Islam yang memperbarui agama mereka.[41] Selalu ada tokoh-tokoh yang menghidupkan Sunnah dan mematikan bid’ah.[42] Sehingga, setidaknya, Sunnah Rasulullah saw. tetap dapat diketahui dengan jelas dan umat ini tidak sampai bersepakat dalam kesesatan;[43] atau mengakui bid’ah, atau perbuatan bid’ah itu berubah menjadi bagian agama Islam.
Pengingkaran bid’ah itulah yang menjaga rukun-rukun pokok Islam. Bilangan kewajiban shalat tetap terjaga sebanyak lima waktu hingga saat ini, berikut ketentuan waktu dan aturan pelaksanaannya. Pelaksanaan ibadah puasa tidak dipindahkan dari bulan Ramadhan, tidak seperti yang dilakukan oleh Ahli Kitab yang memindahkan waktu pelaksanaan puasa mereka. Dan, waktunya pun tetap dari fajar hingga tenggelamnya matahari. Tata laksana ibadah haji juga tetap seperti itu. Demikian juga aturan zakat tetap seperti sediakala. Pokok-pokok utama Islam tetap terjaga keautentikannya, meskipun telah terjadi banyak bid’ah dan beragam penyimpangan pemikiran di sepanjang masa.
Yang menjaga semua hal tadi adalah prinsip ini, yaitu bid’ah merupakan perbuatan yang tertolak dalam pandangan Islam. Dengan demikian, Islam adalah agama yang agung dan logis, sesuai dengan alur postulat logika yang benar. Lantas, setelah agama ini melewati masa empat belas abad, jika kita menemukan seseorang menulis sebuah artikel dan berkata, “Mengingkari bid’ah dan membenci sesuatu yang baru, apakah sikap islami atau sikap jahiliah?” Apa yang kita akan katakan kepada orang itu?
Perhatikanlah taktik pengelabuan dalam penulisan judul artikel itu. Di situ, kata “pengingkaran bid’ah” disejajarkan dan disandingkan dengan “membenci hal-hal baru”, Subhanallah! Padahal, siapa yang pernah berkata bahwa mengingkari bid’ah berarti membenci segala hal yang baru? Kaum muslimin, baik itu kalangan pengikut Sunnah maupun pembuat bid’ah, semuanya mempergunakan hal-hal baru. Bahkan, orang-orang yang amat mengikuti Sunnah, mereka mengendarai mobil, mempergunakan telepon, berbicara dengan mikropon, menaiki pesawat, dan sebagainya. Namun, tidak ada yang mengatakan bahwa menaiki pesawat dan sebagainya itu adalah bid’ah dan kita harus mengendarai unta, seperti yang dilakukan oleh Nabi saw..
Lantas, apa makna redaksi “mengingkari bid’ah dan membenci hal-hal baru, apakah sikap islami atau jahiliah?” Itu adalah sebuah taktik pengelabuan yang vulgar, yang menjadi tertawaan orang. Orang yang menulis artikel itu secara implisit berkata bahwa Islam itu sendiri adalah suatu bid’ah terhadap kejahiliahan. Maka, jika kita mengikuti alur logika ini — atau pengingkaran terhadap bid’ah — maka kita juga harus mengingkari Islam, sebagaimana orang-orang jahiliah mengingkari Islam. Karena, bagi orang-orang jahiliah itu, Islam adalah sesuatu yang baru.
Subhanallah! Kejahiliahan itu sendiri sebenarnya suatu bid’ah, yaitu bid’ah yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah terhadap agama. Mereka menyelewengkan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim a.s. dengan bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan itu. Karena, agama Nabi Ibrahim a.s. pada dasarnya adalah agama yang hanif, “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus (hanif) lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Ali Imran: 67)
Namun, orang-orang jahiliah kemudian menambahkan bid’ah-bid’ah baru dalam agama yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim a.s.. Tentu saja bid’ah yang mereka ciptakan itu ditujukan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah. Saat mereka menyembah berhala, apa tujuan mereka menyembah berhala-berhala itu? Mereka berkata, “..Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.”(az-Zumar: 3)
Orang-orang jahiliah yang menambahkan praktek-praktek baru dalam pelaksanaan ibadah haji (diantaranya berthawaf dengan bertelanjang tanpa pakaian sehelaipun), maka mengapa mereka melakukan hal itu? “Kami tidak boleh berthawaf dengan memakai pakaian kami karena kami telah melakukan maksiat kepada Allah SWT saat mengenakan pakaian itu.” Oleh karena itu, merekapun kemudian berthawaf dengan bertelanjang bulat.
Keburukan dan kebobrokan jahiliah, pada dasarnya diciptakan oleh praktek perbuatan bid’ah dalam agama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui kitab-kitab suci-Nya dan para rasul-Nya yang memberikan berita gembira dan ancaman. Kemudian, Islam pada hakikatnya adalah suatu gerakan kembali ke asal, yaitu ke agama fitrah yang difitrahkan oleh Allah SWT bagi seluruh manusia. Ia adalah agama yang diserukan oleh Ibrahim a.s., “Dan, siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (an-Nisaa’:125)
Sebenarnya, seluruh redaksi yang ditulis oleh penulis artikel itu hanyalah berisi kesalahan-kesalahan semata. Namun demikian, saya ingin membicarakan masalah ini hingga tuntas sehingga kita dapat menangkap pemahaman yang jelas dan benar tentang sunnah dan bid’ah.

BEBERAPA PENYIMPANGAN YANG DILAKUKAN OLEH PENULIS ARTIKEL

Pada bagian ini, saya akan mengungkapkan sebagian substansi yang ditulis oleh penulis artikel itu yang diterbitkan oleh majalah “ad-Doha”.
Dalam artikel itu, ia menolak banyak hadits Nabi saw. hingga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sekalipun. Misalnya, ia menolak hadits, “Jauhilah perkara perkara bid’ah karena seluruh perbuatan bid’ah adalah sesat.” Juga hadits, “Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kalian akan memasuki lubang yangsama itu, atau kalian mengikuti tindakan mereka itu.”
Ia (penulis artikel itu) mengklaim bahwa hadits-hadits tadi bertentangan dengan Al-Qur’an. Mengapa ia berkata demikian? Dan, bagaimana mungkin hadits-hadits seperti itu bertentangan dengan Al-Qur an?
Ibnu Taimiyah telah mengarang kitab tentang masalah ini yang ia beri judul Iqtidha Shiraath al-Mitstaqiim Mukhalafatu Ahlil-Jahiim ‘Meniti Jalan Lurus Adalah Meninggalkan Praktek Orang-Orang Penghuni Neraka’. Jalan lurus itu adalah shiraathal-mustaqiim yang kita selalu pinta kepada Allah SWT agar kita ditunjukkan kepada jalan itu, minimal sebanyak tujuh belas kali sehari, Yaitu dengan membaca surah al-Faatihah, “Tunjukilah kami jalan yang lurus,” (al-Faatihah: 6)
Ini mengharuskan kita untuk menentang dan meninggalkan praktek orang-orang penghuni neraka yang disebut dalam firman Allah SWT, “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (al-Faatihah: 7)
Para penghuni neraka adalah orang-orang yang dimurkai Allah SWT dan orang-orang yang sesat. Kita mempunyai jalan tersendiri dan mereka mempunyai jalan-jalan lain. Dalam salah satu hadits disinyalir, “Kalangan yang dimurkai Allah itu adalah umat Yahudi dan kalangan yang sesat itu adalah umat Nasrani.”
Jalan kita berbeda dengan jalan-jalan mereka. Al-Qur’an telah menetapkan bagi kita jalan yang berbeda dengan jalan-jalan mereka itu. Al-Qur’an telah melarang kita dalam banyak ayatnya, menjadi seperti mereka atau melakukan pola hidup dan perilaku seperti mereka. Allah SWT berfirman, “Dan, janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka…. “(Ali Imran: 105)
Masih banyak lagi ayat lain, demikian juga hadits-hadits Nabi saw. yang berbicara tentang hal itu, yang keseluruhannya memberikan pernyataan dengan yakin bahwa umat ini mempunyai karakteristik yang istimewa dan khas dan ia tidak boleh mengekor kepada umat-umat lain. Dari kenyataan itu, dalam banyak hadits disabdakan pernyataan khalifuuhum ‘bersikap dan berlakulah yang berbeda dengan mereka’. Dan, sabda itu diulang berkali-kali dalam banyak kesempatan.
Independensi kepribadian dan keistimewaan umat Islam tumbuh dari ini, baik dalam penampilan (mazhhar) maupun dalam ilmu pengetahuan (makhbar). Oleh karena itu, kita tidak dibenarkan mengikuti pola kehidupan dan pola perilaku mereka yang menyebabkan kita sama seperti mereka.
Kita harus memiliki kepribadian sendiri karena umat Islam adaiah umat wasath ‘pertengahan’ yang menjadi saksi bagi seluruh umat manusia. Kita menempati kedudukan sebagai “profesor agung” bagi seluruh umat manusia. Kita adalah umat terbaik yang pernah ada di muka bumi. Lantas, mengapa kita harus mengikuti umat lain?
Rasulullah saw. ingin menanamkan kesadaran akan kemuliaan, keistimewaan, dan independensi kepribadian ini dalam diri kita, dan beliau tidak menginginkan kita menjadi pengekor dan pengikut umat lain. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menyabdakan hadits berikut ini yang meskipun disampaikan dalam bentuk berita, namun ia secara implisit mengandung makna peringatan, “Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kalian akan memasuki lubang yang sama itu.”
Yang dimaksud dengan lubang biawak dalam hadits itu adalah yang kita kenal sekarang ini dengan nama “trend dan mode”. Atau, bisa kita namakan dengan “mode lubang biawak”. Jika mereka (non muslim, terutama Barat) memanjangkan kuncir mereka, para pemuda kita pun memanjangkan kuncir mereka. Jika mereka menjadi ‘yuppies’ dan ‘hippies’, pemuda kita pun turut menjadi yuppies dan hippies. Ke mana larinya kepribadian istimewa kita yang independen itu? Apakah ada orang yang rela meninggalkan agama dan kepribadian Islamnya untuk kemudian mengikuti kesesatan umat lain?
Kemudian, mengapa ada orang yang mensinyalir bahwa hadits ini bertentangan dengan Al-Qur’an?
Saat Rasulullah saw. ditanya, “siapakah yang dimaksud dengan ‘mereka’ itu? Apakah orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?”
Bukankah amat disayangkan jika saat ini “guru” kita adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani? Kita dengan sukarela menjalankan poin-poin yang ditulis dalam “Protokol-Protokol Pemimpin Zionis”, baik protokol-protokol itu benar milik mereka maupun bukan. Apa yang mereka kehendaki, secara sadar atau tidak, kita telah jalankan dengan tekun sehingga kita menjadi permainan mereka.
Penulis artikel itu mencela dan mengingkari kaum muslimin yang ingin kembali mengikuti jalan Nabi saw., para sahabat, dan cara kehidupan mereka. Aneh sekali sikap sang penulis artikel itu. Apakah keinginan untuk mengikuti Nabi saw. dan para sahabat beliau dalam pola kehidupan mereka patut dicela dan diingkari? Kita mengikuti manhaj Nabi saw. dan para sahabat beliau dalam memahami dan menjalankan agama dengan baik; menjaga pokok-pokok agama itu, memperhatikan substansinya, dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan serta melakukan pengembangan dalam kehidupan. Inilah yang kita maksud dengan mengikuti Nabi saw. dan para sahabat beliau itu.
Kemudian, penulis artikel itu berkata, “Aku menemukan di antara sekian hadits, ada hadits yang mensinyalir bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Aku memahami dari hadits itu bahwa orang yang mewarisi peninggalan mempunyai kewajiban moral yang mengharuskan dirinya untuk memelihara warisan itu dan mengembangkannya. Oleh karena itu, para pewaris nabi-nabi mempunyai kewajiban untuk memelihara warisan ruhani yang ditinggalkan oleh para nabi dan mereka juga berkewajiban untuk mengembangkan warisan yang mereka terima itu. Seperti halnya seseorang yang mewarisi toko, ia berhak bahkan berkewajiban untuk mengembangkan toko itu dan menambahkan barang-barang dagangannya, mengganti barang dagangannya yang sudah kadaluwarsa atau yang sudah tidak laku lagi, sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumen. Demikian juga halnya yang harus dilakukan oleh para pewaris nabi terhadap warisan yang mereka terima itu.”
Artinya, menurut penulis artikel itu, para ulama harus menambahkan ajaran agama, mengembangkan, meluaskan, dan menyisipkan hal-hal baru. Demi Allah, apakah hal ini dapat diterima akal? Apakah ucapan tadi logis dan dapat diterima? Yaitu, menganalogikan ajaran-ajaran agama dengan barang-barang dagangan yang diperjualbelikan di toko!!!
Selanjutnya ia berkata, “Meskipun mayoritas ulama tidak menyetujui pengembangan dan penambahan hal baru ke dalam agama, mereka hanya menjalankan taklid buta dan sikap ‘stagnan’ yang batil. Dan, mereka menjustifikasikan ditutupnya pintu ijtihad dengan kemuliaan dan kejayaan Islam pada era pertamanya.”
Subhanallah! Penutupan pintu ijtihad itu sendiri adalah bid’ah karena hal itu adalah suatu sikap dan perbuatan baru dalam agama yang tidak diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan tidak dilakukan oleh para sahabat, namun hal itu baru terjadi pada masa-masa kemudian. Tidak ada seorang pun yang memiliki otoritas untuk menutup pintu ijtihad yang telah dibuka oleh Allah SWT dan Rasulullah saw..
Perkara-perkara dunia dapat ditambah dan dikembangkan, sedangkan perkara-perkara agama tidak boleh ditambah atau dikurangi. Karena hal itu, seperti telah kami katakan, adalah suatu tindakan mengkritik Allah SWT dan menuduh agama ini tidak lengkap, dan sebagainya.
Dengan demikian, apakah makna peluasan agama itu? Karena, sesuatu yang sudah sempurna sesungguhnya tidak lagi dapat ditambah. Firman Allah SWT, “. . Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (al-Maa’idah : 3)

Catatan Kaki: [1] Maksudnya di Qathar,penj.

[2] Penjelasan lebih terperinci tentang hal ini dapat dibaca pada buku karya Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Madkhal li Dirasat As-Sunnah an-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah wahbah), hlm. 7-13.

[3] Redaksi hadits di atas merupakan bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi dengan periwayatan secara ringkas. Lihat karya Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Muntaqa min Kitab at-Targhib tva Tarhib, 1/115, hadits 41. Dan, pengertian “barangsiapa membiasakan (memulai atau menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam Islam” adalah selama masa hidupnya, bukan setelah kematiannya, atau karena peran orang tua atau keturunan-keturunannya.

[4] Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam kitab shahih-nya, dan Ahmad. Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan sahih. Lihat al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhiib 1/ 110, hadits 24.
[5] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir r.a.. Lihat karya an-Nawawi, Riyadhush Shalihin, bab “an-Nahyu’an al-Bida’ wa Muhdatsaat al-Umur”.
[6] Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Hakim dalam al-Mustadrak dari jalan periwayatan Imam Ahmad, dan oleh Ibnu Abi Ashim dengan sanad hasan dalam kitab as-Sunnah, hadits no. 48, dengan takhrij al-Albani, dan ia mensahihkannya dengan lanjutannya. Lihat kitab al-Muntaqa min Kitab at-Targhib wa Tarhib, 1/114, hadits no. 39.

[7] Ia adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami al-Garnathi yang terkenal dengan asy-Syathibi. Ia adalah seorang ahli ushul fiqih dan hafizh hadits dari kalangan penduduk Garnathah (Grenada, saat ini). Di samping itu, ia juga seorang imam mazhab Maliki. wafat pada tahun 790 H/1388 M (lihat: al-A’laam, Zerekly, 10/75). Di antara karya-karyanya adalah kitab al-Muwafaqaat fi Ushul asy-syari’ah, sebuah kitab yang amat bagus yang ditulis dalam bidang itu. Juga kitab al-I’tishaam fi Bayaan assunnah wal-Bid’ah. Kitab terakhir itu juga kitab yang amat bagus yang ditulis dalam bidang itu. Namun sayangnya, sampai saat ini manuskrip nash kitab itu hanya ada satu buah, yang kemudian dicetak, di-tashih, dan diberikan anotasi oleh Imam Salafiah kontemporer: syeikh Muhammad Rasyid Ridha r.a. pengasuh majalah al-Manar dan pengarang tafsir al-Manar. Di dalam kitab itu terdapat banyak kontradiksi antar kalimat, dan redaksi-redaksi yang tidak jelas, namun karena manuskrip nash yang ada hanya satu buah saja sehingga naskah itu tidak dapat dikomparasikan antara dua naskah atau antara berbagai naskah manuskrip, untuk mencapai bentuk redaksional yang sebaik-baiknya, seperti yang dilakukan oleh para pen-tahqiq manuskrip-manuskrip lama. Sebagai tambahan, asy-Syathibi juga tidak menyelesaikan penulisan kitab itu.
[8] Asy-Syathibi, al-I’tishaam (Beirut: Darul Ma’rifah), juz 1, hlm. 37.
[9] Hadits Muttafaq ‘alaih dari hadits riwayat Aisyah r.a.. Lihat: Syarh Sunnah, karya al-Baghawi, dengan tahqiq Zuhair asy-Syawisy dan Syu’ aib al-Arnauth, 1/211, hadits no: 103.
[10] Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah. Lihat al-Muntaqa min Kitab at Targhiib wa Tarhiib, 1/112, hadits no: 32.
[11] Potongan dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai, dari Umar bin Khaththab r.a. Lihat al-Muntaqa min Kitab at-Targhiib wat-Tarhiib, 1/102-103, hadits no: 3.
[12] Lebih jauh tentang hal ini dapat dibaca dalam buku al-Madkhal li Dirasat As-Sunnah an-Nabawiyyah, hlm. 24-32, karya Dr. Yusuf al-Qardhawi. Juga sebuah kuliah yang pernah disampaikan olehnya di Fakultas syari’ah Universitas Qathar tentang topik seputar “Sunnah Nabi dan Ragamnya”. Di samping itu, ia juga mempunyai dua tulisan yang berkaitan dengan topik ini, yaitu al-Janib at-Tasyriri fi Sunnah an-Nabawiyah yang dipublikasikan oleh Markaz Sunnah dan Sirah dalam jurnal tahunannya. Demikian juga bukunya as-Sunnah Mashdaran lil Ma’rifah wal-Hadharah. (Buku terakhir telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Hayyie al-Kattani, dan diterbitkan oleh Gema Insani Press, 1998].
[13] Dari Aisyah r.a., ia berkata, “Nabi saw. setiap kali beliau usai melaksanakan shalat dua rakaat sebelum shubuh, beliau berbaring pada sisi kanan beliau.” Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab at-Tahajjud, bab “adh-Dhaj’ah ‘ala syaqqil-Aiman Ba’da Rak’atai al-Faji’.
[14] Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq. Dalam mata rantai periwayatannya terdapat seorang perawi yang namanya tidak disebut dengan jelas. Lihat Fathul Bari, kitab at-Tahajjud, bab “Man Tahaddatsa Ba’da Rak’ataul wa lam Yadhthaji”.
[15] Hadits Muttafaq ‘alaih dari hadits Umar bin Abi salmah, Syarh Sunnah karya al-Baghawi, tahqiq asy-Syawisy dan al-Amauth, 11 /275, hadits no. 2823.
[16] Hadits diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Malik serta Abu Dawud juga meriwayatkan hadits yang sama redaksinya dari hadits Ibnu Umar. Lihat juga al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhib, 2:598-599, hadits 1238.
[17] Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Iyas bin Salmah bin Akwa’ bahwa ayahnya meriwayatkan kepadanya bahwa seseorang makan bersama Rasulullah saw. sambil menggunakan tangan kirinya. Kemudian, Rasulullah saw. memerintahkan orang itu, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Ia menjawab, “Aku tidak bisa.” Rasulullah saw. kembali bersabda, “Engkau pasti bisa.” Yang menghalangi dirinya untuk makan dengan tangan kanan hanyalah semata kesombongannya saja. sang periwayat kembali berkata bahwa orang itu kemudian tidak lagi dapat mengangkat tangannya ke mulutnya. Lihat Kitab al-ASyribah, bab “Adab ath-Tha’am wa Syarab wa Ahkamuha”.
[18] Oleh karena itu, Ibnu Umar r.a. dikenal sebagai sahabat yang amat senang mengikuti segala tingkah laku Rasulullah saw. karena ia amat senang mengikuti ucapan dan perbuatan beliau.
[19] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya dan Baihaqi dalam Sunan-nya dari Zaid bin Aslam. Ia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar shalat dengan kancing yang terbuka. Kemudian, aku bertanya kepadanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab, “Karena aku pernah melihat Rasulullah saw. melakukannya.”
[20] Dari Mujahid, ia berkata, “Suatu saat kami berjalan bersama Ibnu Umar r.a. dalam sebuah perjalanan. selanjutnya, kami melewati suatu tempat. Tiba-tiba di tempat itu Ibnu Umar menepi dari jalan. Saat ia ditanya, ‘Mengapa engkau melakukan hal ihi?’ ia menjawab, ‘Karena aku pernah melihat Rasulullah saw. melakukan hal itu maka aku pun melakukannya.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bazzaar dengan sanad yang baik. Haitsami berkata bahwa para perawinya dapat dipercaya, Lihat al-Muntaqa min Kitab at-Targhib wa Tarhib, 1/112, hadits 31.
[21] Dari Ibnu Sirin, ia berkata: kami bersama Ibnu Umar r.a. di Arafat. Saat ia istirahat, kami pun ikut istirahat bersamanya. Hingga datang imam shalat, maka ia pun shalat zhuhur dan ashar bersamanya. Kemudian aku dan sahabat-sahabatku wukuf bersamanya hingga imam bergerak keluar dari Arafah. Setelah itu, kami pun ikut bergerak. Hingga sampai ke suatu tempat sebelum Ma’zamain. Di situ, Ibnu Umar mengistirahatkan kendaraannya, maka kami pun mengikutinya. Kami menyangka ia akan melaksanakan shalat. Namun pembantunya yang menjaga kendaraannya mengatakan bahwa ia tidak hendak melaksanakan shalat, namun ia mengatakan bahwa Nabi saw., saat beliau sampai ke tempat itu, beliau melaksanakan hajatnya. Oleh karena itu, Ibnu Umar pun ingin melaksanakan hajat juga di tempat itu. Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah para perawi yang dijadikan andalan dalam kitab-kitab sahih. Atsar ini juga disebutkan oleh Al Hafizh al Manawi dalam kitab At Targhiib wa at Tarhiib, fashal at Targhiib fi ittiba’ as sunnah. Lihat: al Madkhal li Dirasat as Sunnah an Nabawiah, karya Dr. Yusuf al Qaradhawi, hal: 24-32.
[22] Asy-Syathibi, al-I’tisham (Beirut: Darul Ma’rifah), juz 1/36.
[23] Demikian juga halnya dengan Zaid bin Tsabit yang diperintahkan oleh Abu Bakar untuk mengumpulkan catatan-catatan ayat Al-Qur an dan mengkompilasikannya. Namun, Abu Bakar terus mendorong Zaid hingga Allah SWT melapangkan dadanya, sebagaimana telah terjadi dengan Umar dan Abu Bakar r.a..
[24] Asy-Syathibi berkata bahwa Umar menamakannya seperti itu, dengan melihatnya dari unsur luarnya, yaitu suatu pebuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.. Juga tidak pernah terjadi pada masa Abu Bakar r.a.. Namun, bid’ah yang diucapkannya itu bukan bid’ah dengan pengertian terminologis. Maka, siapa yang menamakan perbuatan tadi sebagai bid’ah, dengan pengertian bid’ah seperti itu, maka tidak ada yang perlu diperdebatkan dalam masalah istilah dan terminologi. Lihat al-I’tishaam, 1/195.
[25] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shalat Tarawih bab “Fadhlu man Qaama Ramadhaan”. Dan, lafal hadits tadi dikutip darinya. Juga diriwayatkan oleh Malik dalam kitab al-Muwaththa, bab “Bad’u Qiyaam Layaali Ramadhaan”
[26] Aisyah r.a. berkata,”Nabi saw. shalat (sunnah pada malam bulan Ramadhan) di masjid, maka orang-orang kemudian mengikuti shalat beliau itu. Pada malam kedua, beliau kembali shalat, dan kali ini para jamaah semakin bertambah banyak. Setelah itu, pada malam ketiga atau keempat, orang-orang berkumpul di masjid, namun Nabi saw. tidak keluar dari rumah beliau. Pada pagi harinya, Rasulullah saw. bersabda, “Aku melihat apa yang kalian lakukan itu, dan yang menghalangi diriku untuk keluar dan shalat (tarawih) bersama kalian adalah karena aku takut jika shalat itu sampai diwajibkan atas kalian.” hadits Muttafaq ‘afaih. Lihat karya asy-syaukani, Nailul Authar, 3/61, Darul Fikr.
[27] Asy-Syathibi berkata bahwa perhatikanlah, dalam hadits ini–yakni hadits Aisyah tadi–ada indikasi yang menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah sunnah karena, dengan kenyataan Rasulullah saw. melakukan qiyamullail Ramadhan (shalat sunnah pada malam bulan Ramadhan) dengan berjamaah di masjid, pada hari pertama dan kedua. Ini menunjukkan bahwa perbuatan itu sah dan boleh dilaksanakan. Sementara, dengan tidak keluarnya Rasulullah saw (pada malam ketiga atau keempat) itu karena mengkhawatirkan jika shalat qiyamullail Ramadhan diwajibkan bagi umat Islam, hal itu sama sekali tidak menunjukkan pelarangan perbuatan itu. Karena, masa ini adalah masa turunnya wahyu dan syariat sehingga bisa saja jika perbuatan itu kemudian diwajibkan bagi umat Islam. Oleh karena itu, ketika illat syariat itu telah hilang dengan wafatnya Rasulullah saw., maka kembalilah hukum masalah itu kepada hukum asalnya. Dengan demikian, perbuatan ihi secara jelas dibolehkan dan tidak ada penasakhan (penghapusan hukum) baginya. Lihat al-I’tishaam, 1/194.
[28] Syekh Islam Ibnu Taimiyah telah menulis redaksinya yang amat bagus, yang meng-counter orang yang menganggap baik perbuatan bid’ah, seperti yang beliau tulis dalam kitabnya “Iqtidha shiiraathal-Mustaqim, Mukhalafatu Ashhabu al-Jahim”, (Beirut: Darul Ma’rifah), him. 270 dan seterusnya. Silakan dibaca kitab itu.
[29] Pendapat mereka ini telah dibahas dan didiskusikan oleh Imam asy-Syathibi secara mendetail. Pada akhirnya, ia berkesimpulan bahwa pembagian bid’ah seperti ini adalah suatu perbuatan mengada-ada yang sama sekali tidak didukung oleh syariat. Bahkan, ia bersifat kontradiktif dalam dirinya sendiri. Karena, hakikat suatu bid’ah adalah sesuatu yang sama sekali tidak mempunyai dalil, baik dari nash syariat maupun dari kaidah-kaidahnya. Seandainya di dalam syariat ada sesuatu dalil yang menunjukkan kewajiban, sunnah, atau bolehnya sesuatu (perbuatan bid’ah) itu, niscaya tidak ada bid’ah dan niscaya perbuatan itu masuk dalam kelompok perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan atau diberi kesempatan untuk dikerjakan. Lihat al-I’tishaam, (Beirut: Darul Ma’rifah), 1/188-211.
[30] Ini merupakan bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Jarir dari beberapa jalan periwayatan dari Adi bin Hatim. Lihat dalam Tafsir Ibnu Katsir, (Istanbul: Dar Dakwah), 2/328
[31] Asy-Syathibi menyebut hal ini dalam kitabnya, al-I’tisham,l /49.
[32] Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a.. Nash lengkapnya adalah sebagai berikut, “Pada suatu hari, seorang arab badwi kencing di masjid. Melihat hal itu, beberapa orang langsung berdiri untuk menghajarnya. Namun, Rasulullah saw. segera bersabda, Biarkanlah dia dan tuangkanlah di bekas kencingnya sesiraman atas seember air. Karena, kalian semata diutus untuk memberikan kemudahan, bukan untuk memberikan kesulitan.” (Riyadhush Shalihin, an-Nawawi, bab “al-Hilm, wal-Inat war-Rifq)
[33] Hadits Muttafaq ‘alaih, dari hadits Ka’ab bin Ajrah. Syarh Sunnah III Baghawi, tahqiq asy-Syawisy dan al-Amauth, 3/190, hadits 681.
[34] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah dalam adz-Dzikr wa Du’a, 2720.
[35] Tentang hal ini, lihat fatwa Dr. Yusuf al-Qardhawi berkenaan tentang doa-doa wudhu yang ma’tsur dan yang tidak ma’tsur, dalam bukunya, Fatwa-Fatwa Kontemporer, juz I, him. 213-214.
[36] Yaitu mimpi Abdullah bin Zaid, seperti terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan disahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah. Lihat Subulus-Salam, ash-shan’ani, bab “al-Adzaan”.
[37] Bahkan dikotomi (pembagian / pencabangan) antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum itu sendiri adalah bid’ah yang sebelumnya sama sekali tidak ada dalam wacana keilmuan Islam. Karena, Islam tidak bersifat terpisah dari dunia. Penjelasan lebih mendalam tentang hal ini dapat dilihat pada subjudul “al-Fisham an-Nakd”, dari buku al-Mustaqbal Li Hadza Din, karya asy-Syahid Sayyid Quthb.
[38] Sanadnya hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Al Musnad, juga Ath Thabari, Al Hakim, ia juga mensahihkannya, dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Lihat: Syarh as Sunnah, al Baghawi, tahqiq: Asy-Syawisy dan al-Arnauth:l/196-197, hadits 97.
[39] Rasulullah saw. mengajarkan sahabatnya dengan alat peraga, dan salah satu alat peraga yang biasa dipergunakan untuk mereka adalah pasir.
[40] Bahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, “Aku tidak bergembira jika seluruh sahabat Rasulallah saw. tidak berbeda pendapat sama sekali. Karena jika mereka tidak berbeda pendapat sama sekali niscaya kita tidak mungkin mendapatkan rukhshah (keringanan).”
[41] Dari Abi Hurairah r.a. ia meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah akan mengutus bagi umat ini pada setiap awal seratus tahun seseorang yang akan memperbarui agamanya.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi dan selainnya, serta disahihkan oleh al-Iraqi dan as-Suyuthi. Yang dimaksud dengan pembaruan agama, seperti disinyalir dalam hadits itu, adalah pembaruan pemahaman terhadapnya, serta keimanan dan beramal dengannya. Dr. Yusuf Qardhawi telah menjelaskan panjang lebar tentang hadits ini dalam bukunya min Ajli Shahwahtin Raasyidah, Tujaddiduddiin wa Tanhadhu bid-Dunya, hlm. 936, al-Maktab al-Islami, Beirut; diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Membangun Masyarakat Baru, Gema Insani Press, 1997.
[42] Ibnu Jarir, Tammam dalam Fawa’id-nya, Ibnu Adi dan lainnya meriwayatkan dari Nabi saw. hadits, “Ilmu ini akan dijunjung oleh orang yang mencermati musuh kecenderungannya (pembuat bid’ah). Ia akan melenyapkan penyelewengan orang-orang yang melakukan kesesatan dalam agama, kecenderungan orang-orang yang membuat kebatilan, dan takwil orang-orang bodoh.” Lihat syarah-nya dalam al-Madkhal li Dirasat as-Sunnah an-Nabawiyah, Dr. Yusuf al-Qardhawi, hlm. 95-98.
[43] Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah SWT tidak akan mengumpulkan umatku — atau umat Muhammad saw. — dalam kesesatan. “Tangan Allah bersama jamaah. Siapa yang menyempal dari jamaah maka ia menyempal ke dalam neraka.” Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia menilainya sebagai hadits gharib, serta diriwayatkan oleh al-Hakim dengan redaksi sejenis. Lihat ash-Shahwah al Islamiah, baina al-Ikhtilaf al-Masyru’ wa at-Tafarruq al-Madzmum, Dr. Yusuf al-Qardhawi, hlm. 25, Muassasah ar-Risalah, Beirut.