Sunnah secara etimologis bermakna ‘perilaku atau cara berperilaku
yang dilakukan, baik cara yang terpuji maupun yang tercela. Ada sunnah
yang baik dan ada sunnah yang buruk, seperti yang diungkapkan oleh
hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya: “Barangsiapa
membiasakan (memulai atau menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam
Islam, dia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan pahala
dari perbuatan orang yang mengikuti kebiasaan baik itu setelahnya
dengan pahala yang sama sekali tidak lebih kecil dari pahala
orang-orang yang mengikuti melakukan perbuatan baik itu. Sementara,
barangsiapa yang membiasakan suatu perbuatan buruk dalam Islam, ia akan
mendapatkan dosa atas perbuatannya itu dan dosa dari perbuatan orang
yang melakukan keburukan yang sama setelah nya dengan dosa yang sama
sekali tidak lebih kecil dari dosa-dosa yang ditimpakan bagi
orang-orang yang mengikuti perbuatannya itu.”[3]
Kata “sunnah” yang dipergunakan oleh hadits tadi adalah kata sunnah
dengan pengertian etimologis. Maksudnya, siapa yang membuat perilaku
tertentu dalam kebaikan atau kejahatan. Atau, siapa yang membuat
kebiasaan yang baik dan yang membuat kebiasaan yang buruk. Orang yang
membuat kebiasaan yang baik akan mendapatkan pahala dari perbuatannya
itu dan dari perbuatan orang yang mengikuti perbuatannya, dan orang
yang membuat kebiasaan yang buruk maka ia akan mendapatkan dosa dari
perbuatannya itu dan dari perbuatan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari kiamat. Adapun dalam pengertian syariat, kata sunnah mempunyai
pengertian tersendiri atau malah lebih dari satu pengertian.
Banyak kata yang mempunyai makna etimologis yang kemudian diberikan
makna-makna baru oleh syariat. Seperti kata thaharah; secara
etimologis, ia bermakna ‘kebersihan’, sedangkan dalam pengertian
terminologis yang diberikan oleh syariat, ia bermakna ‘menghilangkan hadats atau menghilangkan najis, dan sejenisnya‘. Demikian juga halnya dengan kata shalat; secara etimologis ia bermakna ‘doa‘, sedangkan dalam pengertian terminologis yang diberikan oleh syariat ia bermakna ‘ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam‘. Demikian juga halnya dengan kata sunnah, ia mempunyai pengertian etimologis dan pengertian terminologis syariat.
Pada hakikatnya, dalam terminologi syariat, sunnah mempunyai lebih
dari satu makna. Kata sunnah dalam pengertian terminologis fuqaha
adalah ‘salah satu hukum syariat’ atau antonim dari fardhu dan wajib.
Ia bermakna sesuatu yang dianjurkan dan didorong untuk dikerjakan. Ia
adalah sesuatu yang diperintahkan oleh syariat agar dikerjakan, namun
dengan perintah yang tidak kuat dan tidak pasti. Sehingga, orang yang
mengerjakannya akan mendapatkan pahala, dan orang yang tidak
mengerjakannya tidak mendapatkan dosa kecuali jika orang itu menolaknya
dan sebagainya. Dalam pengertian ini, dapat dikatakan bahwa shalat dua
rakaat sebelum shalat shubuh adalah sunnah, sementara shalat shubuh itu
sendiri adalah fardhu.
Menurut para ahli ushul fiqih, sunnah adalah apa yang diriwayatkan
dari Nabi saw., berupa ucapan, perbuatan, atau persetujuan. Ia dalam
pandangan ulama ushul ini, adalah salah satu sumber dari berbagai
sumber syariat. Oleh karena itu, ia bergandengan dengan Al-Qur’an.
Misalnya, ada redaksi ulama yang mengatakan tentang hukum sesuatu:
masalah ini telah ditetapkan hukumnya oleh Al-Qur’an dan sunnah.
Sementara, para ahli hadits menambah definisi lain tentang sunnah.
Mereka mengatakan bahwa sunnah adalah apa yang dinisbatkan kepada Nabi
saw, berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, atau deskripsi–baik fisik
maupun akhlak–atau juga sirah (biografi Rasul saw.).
Ada juga makna sunnah yang lain yang menjadi perhatian para ulama
syariat, yaitu sunnah dengan pengertian antonim dari bid’ah. Atau, apa
yang disunnahkan dan disyariatkan oleh Rasulullah saw. bagi umatnya
versus apa yang dibuat-buat oleh para pembuat bid’ah setelah masa
Rasulullah saw.. Pengertian sunnah seperti inilah yang disinyalir oleh
hadits riwayat Irbadh bin Sariah, salah satu hadits dari seri empat
puluh hadits Nawawi yang terkenal itu (Hadits Arba’in, ed.), “…
orang yang hidup setelahku nanti akan melihat banyak perbedaan pendapat
(di kalangan umat Islam). Dalam keadaan seperti itu, hendaklah kalian
berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan
petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu dan janganlah kalian
mengikuti hal-hal bid’ah, karena setiap perbuatan bid’ah adalah sesat.“[4]
Oleh karena itu, di kalangan sahabat sering ditemukan adanya
pengoposisian antara sunnah dan bid’ah. Mereka berkata bahwa setiap
kali suatu kaum membuat bid’ah maka pada saat itu pula mereka
menelantarkan sunnah dalam kuantitas yang sama. Ibnu Mas’ud berkata,
“Mencukupkan diri dengan berpegang pada sunnah, lebih baik daripada
berijtihad dalam bid’ah.”
Ini adalah pengertian terakhir kata sunnah, dan ini pula pengertian
sunnah yang menjadi topik pembicaraan kami dalam kesempatan ini.
Sedangkan, pengertian-pengertian sunnah yang lain, tidak menjadi topik
pembicaraan kami ini. Kami telah membicarakan sebagian dari sunnah
dengan pengertian-pengertian lainnya itu, misalnya kami telah
membicarakan sunnah sebagai salah satu sumber syariat, atau tentang
sunnah sebagai ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat, dan sirah
Rasulullah saw.. Namun, dalam kesempatan ini, kami hanya ingin mengkaji
tentang sunnah dengan pengertian sebagai antonim bid’ah. Atau, apa
yang disunnahkan oleh Nabi saw. bagi umatnya.
Petunjuk Nabi saw. adalah sebaik petunjuk, seperti dikatakan oleh
Umar ibnul Khaththab r.a., “Keduanya (Al-Qur’an dan sunnah) adalah
kalam dan petunjuk, sebaik-baik kalam adalah kalam Allah SWT dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw..” Umar mengutip
redaksi ini dari sabda Rasulullah saw. yang diucapkan oleh beliau dalam
khotbahnya, “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah
Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.
Seburuk-buruk perkara adalah perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat.”[5]
Nabi saw. telah memperingatkan dengan keras perbuatan bid’ah serta
memerintahkan umat Islam Untuk mengikuti Sunnah beliau dan menjaganya.
Beliau bersabda, “Aku tinggalkan kalian dalam keutamaan dan kemuliaan
(ajaran agama) yang terang-benderang, malamnya seterang siangnya, dan
tiada orang yang menyimpang darinya kecuali ia akan binasa.”[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar