Dari definisi tadi dapat dipetakan bahwa medan operasional bid’ah
adalah agama. Ia adalah “tindakan mengada-ada dalam beragama”. Dalil
pernyataan ini adalah sabda Rasulullah saw., “Siapa yang menciptakan
hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan bagian darinya, maka
perbuatannya itu tertolak.”[9]
Dalam riwayat yang lain, “Siapa yang menciptakan hal baru dalam
urusan (ajaran agama) kita, yang bukan bagian darinya, maka
perbuatannya itu tertolak.”[10]
Artinya, dikembalikan kepada pelakunya, sebagaimana halnya uang palsu
yang tidak diterima untuk dijadikan sebagai alat jual-beli, dan ia
dikembalikan kepada pemiliknya. Hadits ini juga dinilai oleh para ulama
sebagai salah satu pokok agama Islam. Ia adalah bagian dari seri empat
puluh hadits Nawawi yang terkenal itu (Hadits Arba’in, ed.).
Para ulama berkata bahwa ada dua hadits yang saling melengkapi satu
sama lain; pertama hadits yang amat penting karena ia adalah timbangan
bagi perkara yang batin, yaitu hadits, “Sesungguhnya keabsahan segala
amal ibadah ditentukan oleh niat.”[11]
Kedua, hadits yang juga amat penting karena ia adalah timbangan bagi
perkara yang zahir, yaitu makna yang dikandung oleh hadits ini, “Siapa
yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan merupakan
bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”
Agar amal ibadah seseorang diterima oleh Allah SWT, harus dipenuhi dua hal ini:
1. Meniatkan amal perbuatannya semata demi Allah SWT, dan
2. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.
Oleh karena itu, saat Imam al-Fudhail bin Iyadh, seorang faqih yang
zaahid ‘orang yang zuhud’ (para zaahid generasi pertama adalah para
fuqaha), ditanya tentang firman Allah SWT, “… supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…. “(al-Mulk:2); Amal
ibadah apakah yang paling baik? Ia menjawab, “Yaitu amal ibadah yang
paling ikhlas dan paling benar.” Ia kembali ditanya, “Wahai Abu Ali
(al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang
paling ikhlas dan paling benar itu?” Ia menjawab, “Suatu amal ibadah,
meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak
diterima oleh Allah SWT. Kemudian, meskipun amal ibadah itu benar,
namun dikerjakan dengan tidak ikhlas, juga tidak diterima oleh Allah
SWT. Amal ibadah baru diterima apabila dikerjakan dengan ikhlas dan
dengan benar pula. Yang dimaksud dengan ‘ikhlas’ adalah dikerjakan
semata untuk Allah SWT, dan yang dimaksud dengan ‘benar’ adalah
dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah.”
Keharusan amal ibadah hanya ditujukan untuk Allah SWT, yaitu
sebagaimana dideskripsikan oleh hadits, “Sesungguhnya keabsahan segala
amal ibadah ditentukan oleb niat.” Dan, keharusan amal ibadah sesuai
dengan tuntunan Sunnah adalah seperti dideskripsikan oleh hadits,
“Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kami (Islam) yang
bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”
Dengan demikian, perbuatan bid’ah hanya terjadi dalam bidang agama.
Oleh karena itu, salah besar orang yang menyangka bahwa perbuatan
bid’ah juga dapat terjadi dalam perkara-perkara adat kebiasaan
sehari-hari. Karena, hal-hal yang biasa kita jalani dalam keseharian
kita, tidak termasuk dalam medan operasional bid’ah. Sehingga, tidak
mungkin dikatakan “masalah ini (salah satu masalah kehidupan
sehari-hari) adalah bid’ah karena kaum salaf dari kalangan sahabat dan
tabi’in tidak melakukannya”. Bisa jadi hal itu adalah sesuatu yang
baru, namun tidak dapat dinilai sebagai bid’ah dalam agama. Karena jika
tidak demikian, niscaya kita akan memasukkan banyak sekali hal-hal
baru yang kita pergunakan sekarang ini sebagai bid’ah: seperti
mikropon, karpet, meja, dan bangku yang kalian duduki, semua itu tidak
dilakukan oleh oleh generasi Islam yang pertama, juga tidak dilakukan
oleh sahabat, apakah hal itu dapat dinilai sebagai bid’ah?
Oleh karena itu, ada orang yang bersikap salah dalam masalah ini
sehingga jika melihat ada mimbar yang anak tangganya lebih dari tiga
tingkat, niscaya dia akan berkata, “ini adalah bid’ah”. Tidak, bid’ah
tidak termasuk dalam masalah seperti itu. Rasulullah saw. pertama kali
berkhotbah di atas pokok pohon kurma, kemudian ketika manusia bertambah
banyak, ada yang mengusulkan, “Tidakkah sebaiknya kami membuat tempat
berdiri yang tinggi bagi baginda sehingga orang-orang yang hadir dapat
melihat baginda?” Setelah itu, didatangkan seorang tukang kayu, ada yang
mengatakan ia adalah tukang yang berasal dari Romawi. Selanjutnya, si
tukang kayu membuat mimbar dengan tiga tingkat. Seandainya dibutuhkan
mimbar yang lebih dari tiga tingkat, niscaya ia akan membuatnya.
Masalah ini tidak termasuk dalam lingkup medan operasional bid’ah.
Oleh karena itu, sangat penting sekali kita mengetahui apa yang
dimaksud dengan sunnah? Dan, apa yang dimaksud dengan bid’ah? Juga ada
kesalahan sikap dalam memandang perbuatan-perbuatan Rasulullah saw..
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa seluruh apa yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. adalah sunnah. Padahal, para ulama berkata bahwa
perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang termasuk sebagai sunnah hanyalah
perbuatan yang ditujukan oleh beliau sebagai perbuatan ibadah.[12]
Di antara contohnya, Nabi saw.–pada beberapa kesempatan–melakukan
shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh. Setelah itu, beliau berbaring
dengan memiringkan tubuhnya ke samping kanan.[13]
Dari sini, ada sebagian ulama–diantaranya Ibnu Hazm–yang menyimpulkan
bahwa setelah melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh kita
harus berbaring miring di sisi kanan tubuh kita. Padahal, Aisyah r.a.
berkata, “Nabi saw. berbaring seperti itu bukan untuk mencontohkan
perbuatan sunnah, namun semata karena beliau lelah setelah sepanjang
malam beribadah sehingga beliau perlu beristirahat sejenak.”[14]
Dengan demikian, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah
saw. perlu diperhatikan, apakah yang beliau lakukan itu ditujukan
sebagai perbuatan ibadah atau bukan. Di sini banyak terjadi
kesimpangsiuran dan kesalahpahaman, misalnya seperti yang terjadi dalam
masalah tata cara makan. Sebagian orang berpendapat bahwa makan dengan
sendok dan garpu, atau di meja makan, adalah perbuatan bid’ah. Ini
adalah sikap yang berlebihan dan ekstrem. Karena, masalah ini adalah
bagian dari kebiasaan sehari-hari yang berbeda-beda bentuknya antara
satu daerah dan daerah lain, dan antara satu zaman dan zaman lainnya.
Nabi saw makan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh lingkungan beliau,
terutama yang sesuai dengan sifat Rasulullah saw., yakni sifat
memberikan kemudahan, tawadhu’, dan zuhud. Namun demikian, makan dengan
menggunakan meja makan atau menggunakan sendok dan garpu, bukanlah
sesuatu yang bid’ah. Lain halnya dengan sebagian sisi dari tata cara
makan itu.
Saya pernah didebat oleh seorang penulis besar-yaitu seorang tokoh
yang sering menulis artikel di majalah-majalah dan kadang-kadang
menulis tentang topik keislaman–tentang tuntunan makan dengan tangan
kanan. Ia berkata bahwa hal itu bukan sunnah karena ia hanyalah suatu
bentuk adat kebiasaan belaka. Saya menjawab bahwa bukan begitu
permasalahannya. Dalam masalah seperti ini, kita harus memperhatikannya
dengan cermat. Benar, masalah makan dengan sendok dan garpu, atau makan
di lantai atau di meja makan, adalah masalah yang bersifat praktikal,
dan setiap orang melakukan hal itu sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
di tengah kaumnya; selama tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa
suatu cara tertentu dilakukan sebagai bentuk beribadah, atau ada
tuntunan sunnah di situ. Sedangkan, masalah makan dengan tangan kanan,
tampak dengan jelas adanya petunjuk Nabi saw. untuk melakukan hal itu.
Karena, secara eksplisit Rasulullah saw. memerintahkan hal itu, yaitu
saat beliau bersabda kepada seorang anak, “Bacalah nama Allah, Nak,
kemudian makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan (hidangan)
yang dekat dengan kamu.”[15]
Lebih jauh lagi, Rasulullah saw. melarang melakukan tindakan
sebaliknya, seperti alam sabda beliau, “Hendaklah kalian tidak makan
dan minum dengan tangan kiri kalian karena setan makan dan minum dengan
tangan kirinya.”[16]
Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hal itu menunjukkan
keharaman (makan dan minum dengan tangan kiri) karena beliau
menyerupakan orang yang melakukan tindakan seperti itu dengan setan.
Dan, beliau tidak pernah menyerupakan sesuatu perbuatan sebagai
perbuatan setan dalam masalah yang makruh.
Saat Rasulullah saw. melihat seseorang makan dengan tangan kirinya,
beliau bersabda kepadanya, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Orang itu
menjawab, “Aku tidak bisa.” Rasulullah saw. kembali bersabda, “Engkau
pasti bisa.”[17]
Kemudian Rasulullah saw. menyumpahi orang itu sehingga ia tidak lagi
dapat mengangkat tangan kanannya setelah itu. Ini menunjukkan bahwa
masalah ini (makan dengan tangan kanan) amat ditekankan.
Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini kita harus
memperhatikannya dengan cermat agar mengetahui batasan dan
aturan-aturannya yang terdapat dalam tuntunan Rasulullah saw.. Untuk
kemudian kita usahakan untuk mengetahui mana tindakan yang ditujukan
sebagai perbuatan sunnah dan sebagai bentuk beribadah kepada Allah SWT,
dan mana tindakan yang bersifat sekadar kebiasaan dan alami.
Kadang-kadang Nabi saw. melakukan sesuatu seperti cara kaum beliau
melakukan hal itu, beliau makan dengan cara seperti mereka makan,
beliau minum dengan cara seperti mereka minum, dan beliau berpakaian
dengan cara seperti mereka berpakaian. Dan, terkadang beliau melakukan
sesuatu sesuai dengan kecenderungan selera beliau. Misalnya, beliau
senang makan labu. Apakah kita semua harus senang makan labu?
Masalah-masalah seperti ini ditentukan oleh selera masing-masing orang;
ada orang yang senang sop kaki, ada yang senang sayur bayam, dan
seterusnya.
Rasulullah saw. juga menyenangi daging kaki depan; apakah kita semua
juga harus menyenangi daging kaki depan? Ada orang yang senang dengan
daging punggung, ada yang senang dengan daging paha, dan seterusnya.
Jika selera Anda kebetulan sama dengan selera Nabi saw, hal itu adalah
baik dan berkah. Dan, jika ada seseorang yang berusaha sedapat mungkin
mencontoh seluruh perilaku Rasulullah saw hingga pada masalah-masalah
yang tidak berkaitan dengan tuntunan agama karena semata dorongan
kecintaannya yang demikian besar terhadap Rasulullah saw., dan
kesungguhannya untuk mencontoh segala hal yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw., ini juga suatu tindakan yang terpuji, meskipun hal itu
tidak dianjurkan oleh agama.
Jika ada seseorang yang berkata, “Aku ingin mencontoh segala
perilaku Rasulullah saw., meskipun apa yang dilakukan oleh beliau tidak
termasuk dalam tuntunan ibadah. Aku akan makan dengan bersila di
lantai dan dengan menggunakan tanganku (tanpa menggunakan sendok dan
garpu), seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw..” Kepada orang
seperti itu kami katakan, semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan
kepadamu. Kami tidak akan mengingkari tindakannya itu, dan barangkali
orang itu akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.
Adalah Ibnu Umar r.a. karena kesungguhannya yang besar untuk
mengikuti segala perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.
dan kesempurnaan cintanya kepada beliau, ia mengikuti segala apa pun
yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., meskipun hal itu tidak
termasuk perbuatan ibadah atau bukan perbuatan yang diperintahkan untuk
dikerjakan.[18] Demikian juga sebagian sahabat yang lain.
Misalnya, ada seorang sahabat yang melihatnya sedang shalat dengan
kancing yang terbuka; saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia
menjawab bahwa ia melihat Rasulullah saw. melakukan perbuatan seperti
itu.[19]
Padahal, barangkali Nabi saw. melakukan hal itu semata karena pada saat
itu beliau sedang kegerahan atau dalam keadaan musim panas. Lantas,
apakah Anda akan melakukan tindakan yang sama pula pada saat musim
dingin! Itu hanyalah pendapat Ibnu Umar saja. Suatu saat Ibnu Umar
sedang berada dalam perjalanan bersama rombongan, tiba-tiba ia
meminggirkan kendaraannya dari jalan sehingga rombongan yang
menyertainya merasa heran. Lantas, pembantunya menjelaskan bahwa ia
melakukan hal itu karena dahulu ia pernah berjalan bersama Nabi saw. di
tempat itu, kemudian saat tiba di tempat itu Rasulullah saw. bergerak
minggir ke pinggir jalan.[20]
Dalam salah satu perjalanan ibadah haji, ia juga pernah
mengistirahatkan kendaraannya di suatu tempat dan rombongan yang
menyertainya juga ikut beristirahat bersamanya. Para anggota rombongan
itu bertanya-tanya, apa yang ia ingin kerjakan di tempat itu? Ternyata,
ia pergi ke suatu tempat dan melaksanakan hajatnya (membuang air kecil
atau besar) di tempat itu. Dan, saat ia ditanya mengapa ia melakukan
hal itu, ia menjawab bahwa hal itu dilakukannya karena pada saat Nabi
saw. melaksanakan ibadah haji dan sampai ke tempat ini, beliau
melaksanakan hajat beliau di tempat itu.[21]
Apakah tindakan seperti ini diperintahkan untuk dikerjakan oleh
insan muslim? Tentu saja tidak, namun, perbuatan tadi adalah suatu
bentuk manifestasi kesempurnaan cinta kepada Nabi saw.. Ia juga senang
meletakkan untanya di tempat Rasulullah saw. meletakkan unta beliau.
Perbuatan semacam ini tidak kami cela kecuali jika orang itu
mengharuskan manusia untuk melakukan tindakan seperti itu juga. Karena,
perbuatan seperti itu tidak diperintahkan oleh agama. Oleh karena itu,
ia harus mengetahui bahwa apa yang ia lakukan itu tidak harus
dilakukan oleh manusia dan tidak wajib bagi mereka, juga bukan
perbuatan yang sunnah.
Orang yang melakukan hal itu telah melakukan tindakan yang baik,
namun ia menjadi salah jika ia menginginkan–atau malah memaksakan–orang
lain untuk melakukan tindakan yang sama seperti yang ia lakukan, atau
mengingkari dan mencela orang yang tidak melakukannya. Atau juga jika
ia meyakini bahwa hal itu adalah bagian dari pokok agama, atau bagian
darinya, atau menganggap orang yang meninggalkan perbuatan itu berarti
telah meninggalkan sunnah. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penting bagi kita memisahkan antara sunnah yang sebenarnya dan bid’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar