MENIRU JALAN SYARIAT
Kembali kepada definisi bid’ah yang diberikan oleh asy-Syathibi.
Kalimat “meniru syariat”, artinya hal itu meniru jalan syariat, padahal
pada kenyataannya tidak seperti itu. Ada banyak hal yang diciptakan oleh
manusia yang tidak mempunyai sandaran dan dasar dalam syariat, hanya
saja ia mempunyai sisi kemiripan kepada suatu ajaran syariat itu.
Karena, hal itu suatu bentuk beribadah dan pada satu segi ia meniru
jalan syariat. Sisi inilah yang dianggap baik oleh para pembuat bid’ah
dan para pengikut mereka. Karena, jika hal itu tidak memiliki suatu
kemiripan dengan manusia, niscaya orang banyak akan menolaknya. Mereka
menganggap hal itu baik karena ada segi kemiripannya dengan jalan
syariat.
BID’AH YANG DIMAKSUDKAN ADALAH BERSIKAP BERLEBIH-LEBIHAN DALAM BERIBADAH
Dalam definisi asy-Syathibi juga terdapat redaksi, “yang dimaksudkan
dengan melakukan hal itu (bid’ah) adalah sebagai cara berlebillan dalam
beribadah kepada Allah SWT”. Maksudnya, orang yang membuat suatu praktek
bid’ah, biasanya melakukan hal itu dengan tujuan untuk berlebih-lebihan
dalam bertaqarrub kepada Allah SWT. Karena, mereka merasa tidak cukup
dengan praktek ibadah yang telah diajarkan oleh syariat sehingga mereka
berusaha untuk menambah suatu praktek baru. Dengan tindakan itu,
seakan-akan mereka ingin mengoreksi syariat dan menutupi kekurangannya
sehingga akhirnya mereka menciptakan suatu praktek ibadah baru, hasil
rekayasa pikiran mereka.
Apakah niat yang baik itu dapat menjustifikasikan tindakan mereka?
Tentu saja tidak. Niat seperti itu tidak dapat memberikan justifikasi
suatu perbuatan bid’ah. Kami telah katakan sebelumnya bahwa dalam
masalah beribadah, kita harus melengkapi dua hal: niat (hanya semata
untuk Allah SWT) dan mutaba’ah yaitu ‘beribadah dengan mengikuti cara
yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Rasulullah saw.’. Ukuran dan
karakteristik ibadah yang benar amat jelas, yaitu harus mengikuti
tuntunan Rasulullah saw., “Siapa yang mengerjakan suatu amal ibadah yang
tidak diatur oleh sunnah kami maka amalnya itu tertolak.” Ini adalah
bid’ah dalam agama. Bid’ah dengan pengertian seperti ini adalah
dhalaalah ‘sesat’, seperti disinyalir oleh hadits riwayat Irbaadh bin
Saariah, “Karena setiap bid’ah adalah sesat.”
PEMBAGIAN MACAM BID’AH MENURUT ULAMA DAN PENDAPAT YANG PALING TEPAT
Ada ulama yang membagi bid’ah menjadi dua macam, yaitu bid’ah hasanah
(bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang buruk’).
[28]
Ada juga ulama yang membagi bid’ah menjadi lima macam, seperti halnya
lima macam hukum syariat, yaitu bid’ah wajibah (bid’ah yang wajib
dilakukan), bid’ah mustahabbah (bid’ah yang dianjurkan untuk dilakukan),
bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh dilakukan), bid’ah muharramah
(bid’ah yang haram dilakukan), dan bid’ah mubaahah (bid’ah yang boleh
dilakukan).
[29]
Ungkapan yang paling tepat dalam masalah ini adalah bahwa pendapat
tadi pada akhirnya bertemu pada muara yang sama dan sampai pada
kesimpulan yang sama pula. Karena, mereka — misalnya — memasukkan
masalah pencatatan Al-Qur’an dan pengkompilasiannya dalam satu mushaf,
juga masalah pengkodifikasian ilmu nahwu, ilmu ushul fiqih, dan
pengkodifikasian ilmu-ilmu keislaman yang lain, dalam kategori bid’ah
yang wajib dan sebagai bagian dari fardhu kifayah (kewajiban kolektif).
Ulama yang lain menggugat penamaan perbuatan tadi sebagai bagian dari
bid’ah. Menurut mereka, pengklasifikasian bid’ah semacam itu adalah
pengklasifikasian bid’ah berdasarkan pengertian lughawi ‘etimologis’,
sedangkan pengertian kata bid’ah yang kami gunakan adalah pengertian
secara terminologis syar’i. Sedangkan, hal-hal tadi (seperti pencatatan
Al-Qur’an dan pengkompilasiannya) tidak kami masukkan dalam kategori
bid’ah. Adalah suatu inisiatif yang tidak tetap memasukkan hal-hal
semacam tadi dalam kelompok bid’ah.
Yang terbaik adalah kita berpedoman pada pengertian bid’ah yang
dipergunakan oleh hadits syarif. Karena, dalam hadits syarif diungkapkan
redaksi yang demikian jelas ini, “Karena setiap bid’ah adalah sesat,”
dengan pengertian yang general (umum). Jika dalam hadits itu
diungkapkan, “Karena setiap bid’ah adalah sesat,” maka tidak tepat
kiranya jika kita kemudian berkata bahwa di antara bid’ah ada yang baik
dan ada yang buruk, atau ada bid’ah wajib dan ada bid’ah yang
dianjurkan, dan sebagainya. Kita tidak patut melakukan pembagian bid’ah
seperti ini. Yang tepat adalah jika kita mengatakan seperti yang
diungkapkan oleh hadits, “Karena setiap bid’ah adalah sesat.” Dan, kata
bid’ah yang kami pergunakan itu adalah kata bid’ah dengan definisi yang
diucapkan oleh Imam asy-Syathibi, “Bid’ah adalah suatu cara beragama
yang dibuat-buat,” yang tidak mempunyai dasar dan landasan, baik dari
Al-Qur’an, sunnah Nabi saw., ijma’, qiyas, maupun maslahat mursalah, dan
tidak juga dari salah satu dalil yang dipakai oleh para fuqaha.
MENGAPA ISLAM BERSIKAP KERAS DALAM MASALAH BID’AH?
Mengapa Islam bersikap keras dalam masalah bid’ah, menilainya
sebagai kesesatan, dan pelakunya diancam akan dimasukkan ke neraka,
serta Nabi saw. memberikan peringatan yang amat keras dalam masalah ini?
Berikut ini adalah alasan-alasannya.
1. PEMBUAT DAN PELAKU BID’AH MENGANGKAT DIRINYA SEBAGAI PEMBUAT SYARIAT BARU DAN SEKUTU BAGI ALLAH SWT
Islam memberikan peringatan keras terhadap masalah bid’ah ini karena
(seperti telah kami singgung sebelumnya) dalam kasus seperti ini, si
pembuat bid’ah bertindak seakan-akan ingin mengoreksi Rabbnya dan dia
memberikan kesan kepada kita atau kepada dirinya bahwa dia mengetahui
apa yang tidak diketahui oleh Allah SWT. Seakan-akan dia berkata,
“Tuhanku, apa yang Engkau telah syariatkan kepada kami itu tidak cukup.
Oleh karena itu, kami menambah praktek ibadah baru atas apa yang telah
Engkau syariatkan itu.” Dengan demikian, ia telah menetapkan dirinya
sebagai pembuat syariat dan memberikan kepada dirinya hak untuk
menciptakan syariat baru. Padahal, hak membuat syariat adalah mi1ik
Allah SWT semata. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Apakah mereka
mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka
agama yang tidak diizinkan Allah?…. “(asy-Syuura: 21)
Tindakan membuat syariat baru yang tidak dizinkan oleh Allah SWT
adalah tindakan yang amat berbahaya. Karena, dalam kasus seperti itu, si
pelakunya berarti telah mengangkat dirinya sebagai sekutu bagi Allah
SWT dan memberikan hak kepada dirinya untuk menciptakan syariat baru dan
berkreasi dalam agama, serta membuat tambahan dalam agama Allah SWT.
Hal ini dapat menimbulkan bahaya yang amat besar dan dapat menjerumuskan
seseorang menjadi musyrik kepada Allah SWT. Tindakan seperti inilah
yang telah merusak agama-agama langit sebelum Islam.
Apa yang telah terjadi pada agama-agama langit sebelum Islam itu? Yaitu,
terjadi bid’ah secara besar-besaran dan para pemeluk agama-agama itu
memberikan kepada diri mereka hak untuk menambahkan hal-hal baru dalam
agama mereka, yang secara khusus dipegang oleh para pendeta dan
orang-orang alim mereka sehingga agama yang mereka anut bentuknya
berubah sama sekali dari agama aslinya. Inilah yang dikecam oleh Islam
dan diabadikan oleh Al-Qur’an dalam firman Allah SWT, “Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sehagai tuhan
selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putra Maryam;
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada
tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)
Al-Qur’an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat Adi bin
Hatim ath-Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada masa jahiliah)
bertemu Rasulullah saw., ia membaca ayat, “Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.”
Dan, iapun (Adi bin Hatim ath-Thaai) berkata, “(Pada kenyataannya)
mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib itu.” Rasulullah saw.
menjawab, “Benar begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu)
telah mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan apa
yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti ketetapan
para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah bentuk ibadah
penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib itu.”
[30]
Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk
ritus-ritus saja: shalat, ruku, sujud, dan semacamnya. Kemudian, Nabi
saw. memberikan penjelasan kepadanya bahwa bentuk penyembahan mereka
itu tidak semata-mata seperti itu; ibadah dan penyembahan mempunyai
makna yang lebih luas. Taat dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang
mereka (para pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan,
apa yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam
perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada mereka. Karena,
status rubbubiyah ‘ketuhanan’-lah yang memiliki hak untuk menetapkan
syariat, menghalalkan, dan mengharamkan. Dan, status itu pula yang
memberikan-Nya hak untuk menetapkan bentuk praktek ibadah manusia
kepada-Nya, sesuai yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang
mempunyai hak untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang dia
kehendaki sendiri.
Dengan demikian, orang yang membuat bid’ah meletakkan dirinya
seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu
bagi Allah SWT dan dia mengoreksi apa yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT.
2. PEMBUAT BID’AH MEMANDANG AGAMA TIDAK LENGKAP DAN BERTUJUAN MELENGKAPINYA
Dari segi lain, orang yang mengerjakan bid’ah seakan-akan menganggap
agama tidak lengkap, kemudian ia ingin menyempurnakan kekurangan dan
ketidaksempurnaannya. Padahal, Allah SWT telah menyempurnakan agama
secara lengkap, sebagai bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikan-Nya
kepada kita. Dia berfirman, “,…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai
Islam itu jadi agama bagimu…,” (al-Maa’idah: 3)
Oleh karena itu, Ibnu Majisyun meriwayatkan dari Imam Malik (Imam
Darul Hijrah) bahwa dia berkata, “Siapa yang telah membuat praktek
bid’ah dalam agama Islam dan ia melihatnya sebagai suatu tindakan yang
baik, berarti ia telah menuduh Nabi Muhammad saw. telah mengkhianati
risalah. Karena, Allah SWT berfirman, ‘Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu.’ Jika saat itu agama Islam belum
lengkap niscaya saat ini tidak ada agama Islam itu.”
[31]
Membuat bid’ah dalam agama Islam secara tidak langsung berarti telah
menuduh Nabi saw. berkhianat dan tidak menyampaikan risalah agama
secara lengkap. Allah SWT berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa
yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya
(al-Maa’idah: 67)
Agama Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan tambahan lagi.
Karena, sesuatu yang sudah sempurna tidak menerima adanya penambahan
sama sekali. Hanya sesuatu yang tidak sempurnalah yang dapat menerima
penambahan dan penyempurnaan baginya.
Oleh karena itu, para sahabat dan para imam setelah mereka, amat
memerangi praktek bid’ah karena hal itu berarti menuduh agama Islam
tidak lengkap, dan menuduh Rasulullah saw. telah berbuat khianat.
3. PRAKTEK BID’AH MEMPERSULIT AGAMA DAN MENGHILANGKAN SIFAT KEMUDAHANNYA
Agama yang disyariatkan oleh Allah SWT pada dasarnya bersifat mudah
dan Allah SWT juga mengutus nabi-Nya dengan hanifiah samhah ‘agama yang
orisinal dan mudah dijalankan’, hanif ‘orisinal’ dalam akidah, dan
samhah ‘mudah dijalankan dalam pemberian beban hukum dan praktek
ibadah’. Firman Allah: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu….” (al-Baqarah:185). Juga dalam ayat
lainnya, “,…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan,…” (al-Hajj: 78). Juga dalam hadits Nabi SAW, “Kalian
diutus sebagai orang-orang yang memberikan kemudahan, bukan sebagai
orang-orang yang membuat kesulitan. “
[32]
Agama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian
orang-orang yang membuat praktek bid’ah mengubah sifat mudah Islam itu
menjadi susah dan berat. Mereka membebani manusia dan menyulitkan
mereka dengan berbagai macam praktek baru, serta menambahkan hal-hal
baru dalam praktek keagamaan yang membuat manusia menjadi terbelenggu
oleh beban berat. Padahal, Nabi saw. datang untuk membebaskan manusia
dari belenggu dan beban yang berat itu yang dialami oleh umat
sebelumnya. Seperti diterangkan tentang sifat Nabi saw. dalam
kitab-kitab suci sebelumnya, Taurat dan Injil, “…dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk,
dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka”. (al-A’raaf:157)
Dan, dalam doa-doa Al-Qur’an yang terdapat dalam penghujung surah
al-Baqarah tertulis, “…Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada
kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
yang sebelum kami,…” (al-Baqarah: 286)
Para pembuat bid’ah itu berkeinginan mengembalikan beban-beban
agama-agama langit sebelumnya ke dalam Islam dan menambahkan taklif
‘beban hukum’ yang memberatkan manusia serta menyulitkan mereka.
Padahal, seungguhnya beban-beban agama Islam ini bersifat sederhana dan
mudah dijalankan. Misalnya, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, Allah
dan malaikat-malaikat Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya,” (al-Ahzab: 56)
Dan, redaksi shalawat yang paling afdhal adalah, “Ya Allah,
sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad,
sebagaimana Engkau telah sampaikan shalawat-Mu kepada Nabi Ibrahim dan
keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi
Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan keberkahan kepada Nabi
Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan
Maha Mulia.”
[33]
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca shalawat dengan
redaksi tadi? Mungkin hanya seperempat atau setengah menit! Namun,
kemudian banyak orang yang mengarang kitab tentang redaksi-redaksi
shalawat kepada Nabi saw. dan menciptakan beragam redaksi shalawat baru
yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT. Saya sering mendapati orang
awam yang membaca redaksi shalawat yang beragam itu dan ternyata ia
tidak memahami sama sekali apa yang ia baca itu. Demikian juga halnya
dengan redaksi-redaksi doa, banyak orang yang mengarang wirid dan hizb
yang beragam. Saat masih kecil, setiap kali saya berangkat ke masjid
sebelum subuh, saya mendapati orang-orang awam menghafal dan membaca doa
yang dikenal dengan “wirid al-Bakri”, yaitu sebuah redaksi doa yang
disusun berdasarkan abjad bahasa Arab. Redaksi doa yang pertama dimulai
dengan huruf hamzah, kedua dengan huruf ba, ketiga dengan huruf tsa,
dan seterusnya.
Misalnya, redaksi doa yang dimulai dengan huruf ghain adalah, “Wahai
Tuhanku, kekayaan Mu adalah kekayaan yang mutlak, sementara kekayaan
kami adalah kekayaan yang muqayyad ‘terbatas’”. Jika Anda bertanya
kepada salah seorang dari mereka yang membaca doa itu, “Apa makna
mutlak dan muqayyad?” niscaya ia tidak tahu sama sekali.
Wahai saudaraku seiman, apakah ada redaksi doa yang lebih afdhal,
lebih indah, dan lebih mudah dibandingkan redaksi doa Al-Qur’an dan
Sunnah? Redaksi doa dari Al-Qur’an misalnya adalah, “…Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah
kami dari siksa neraka.” (al-Baqarah: 201)
Dan, redaksi doa dari Sunnah misalnya adalah, “Ya Allah, perbaikilah
agamaku yang merupakan pegangan utama bagiku dan perbaikilah duniaku
yang merupakan bekal hidupku, perbaikilah akhiratku tempat kembaliku
nanti, jadikanlah hidup yang kulalui sebagai tambahan segala kebaikan
yang dapat kuraih, dan jadikanlah kematianku sebagai tempat istirahatku
dari segala kejahatan dan keburukan. “
[34]
Lantas, mengapa kita harus menyusahkan diri sendiri dan menyusahkan
orang lain untuk menghafal doa-doa dengan redaksi buatan sendiri itu?
Suatu kali, saya pernah bertanya kepada seseorang, “Mengapa Anda
tidak melaksanakan shalat?” Ia menjawab, “Karena aku tidak bisa
berwudhu.” Aku kembali bertanya, “Apakah engkau tidak mengetahui
bagaimana membasuh muka, kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh
kedua kaki?” Ia menjawab, “Kalau itu, aku mengetahuinya, namun aku
tidak hafal (do’a) apa yang harus dibaca pada setiap kali membasuh
anggota wudhu itu.” Maksudnya, ia tidak mengetahui doa yang harus
dibaca saat akan memulai berwudhu, misalnya doa, “Segala puji bagi Allah
Yang telah menjadikan air sebagai media untuk menyucikan (diri) dan
Islam sebagai cahaya.” Saat istinsyaaq ‘memasukkan air ke hidung’, “Ya
Allah, rahmatilah aku dengan semerbak surga dan Engkau meridhaiku.”
Saat membasuh muka, “Ya Allah, putihkanlah wajahku pada saat
wajah-wajah (kalangan beriman) memutih dan wajah-wajah (kalangan kafir
dan pembuat dosa) menghitam.” Saat membasuh dua tangan, “Ya Allah,
berikanlah buku catatan amal perbuatanku ke tangan kananku, dan
jadikanlah Nabi Muhammad sebagai pemberi syafaat dan penanggungku.” Dan,
saat mengusap kepala, “Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari
api neraka.”
[35]
Oleh sebagian orang, setiap gerakan wudhu disertai doa tertentu
sehingga rekan kita yang malang ini menyangka bahwa agar shalat dan
wudhunya sah maka ia harus menghafal seluruh doa yang banyak itu,
padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk menghafal seluruh redaksi doa
yang banyak itu. Mengapa hal ini harus terjadi?
Contoh yang lain adalah apa yang dinamakan oleh sebagian orang
sebagai azan syar’i. Pada dasarnya, redaksi dan cara pelafalan azan
mudah saja dilakukan, yaitu Allahu Akbar Allahu Akbar dan seterusnya.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumandangkan azan seperti
itu? Paling lama satu menit atau satu menit setengah. Namun, jika kita
menguman-dangkan azan dengan cara yang biasa dilakukan pada saat ini,
yaitu dengan membaca hayya ‘alash-shalaaaaaah, hayya ‘alal falaaaaaaah,
berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk itu? Tentu akan memerlukan
lebih dari lima menit.
Oleh mereka, kata “falah” harus dibaca lebih panjang dari kata
“shalaah”. Demikian juga redaksi kedua harus dibaca lebih panjang dari
redaksi pertama. Tidak hanya itu, mereka juga kemudian mengarang
redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw yang harus dibaca selepas
mengumandangkan azan.
Wahai saudaraku seiman, Rabb kita mensyariatkan lafal-lafal azan ini
dan mewahyukan bentuk lafal itu kepada Nabi-Nya melalui jalan mimpi
[36]
yang ditetapkan oleh Nabi saw.. Hal ini dimaksudkan agar Allah SWT
mempunyai peran tertentu dalam penentuan azan itu, demikian juga Nabi
saw. mempunyai peran tersendiri. Lantas, mengapa Anda kemudian
menambahkan redaksi shalawat dan kata-kata tambahan terhadap azan itu
yang membuat bagian Nabi saw. dalam azan lebih besar dari bagian Rabb
kita? Ini tidak sepatutnya terjadi.
Islam amat memerangi bid’ah agar manusia tidak memasukkan hal-hal
baru yang mempersulit pelaksanaan agama, serta agar tidak menambahkan
hal-hal yang membuat beban agama menjadi berlipat-lipat banyaknya
daripada apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Karena, hal itu akan
membuat manusia menjadi berat untuk menjalankan perintah-perintah
agama.
4. BID’AH DALAM AGAMA MEMATIKAN SUNNAH
Ada ungkapan yang diriwayatkan dari kalangan salaf, secara mauquf dan
marfu’, “Setiap kali suatu kaum menghidupkan bid’ah maka saat itu pula
mereka mematikan sunnah dengan kadar yang setara.” Ini adalah suatu
keniscayaan (kepastian), sesuai dengan hukum alam dan hukum sosial. Ada
orang yang berkata, “Setiap kali aku melihat suatu sikap berlebihan
dalam satu segi maka saat itu pula aku dapati adanya suatu hak yang
ditelantarkan.” Jika Anda menjumpai suatu sikap berlebih-lebihan pada
satu segi, Anda pasti akan mendapati adanya sikap mengurang-ngurangi
pada segi lain. Jika seseorang mencurahkan energinya untuk melaksanakan
perbuatan bid’ah, niscaya energinya untuk menjalankan sunnah menjadi
berkurang karena kemampuan manusia terbatas. Oleh karena itu, Anda
dapat menandai dengan mudah pada segi apa seorang pelaku bid’ah giat
berusaha dan pada segi apa pula ia malas bekerja. Ia giat dan bersegera
dalam menjalankan perbuatan-perbuatan bid’ah, sementara lemah dan
bermalasan dalam menjalankan hal-hal yang sunnah.
Saya masih ingat ketika masih berstatus pelajar sekolah menengah
al-Azhar di Madrasah al-Azhar cabang Thantha. Di kota Thantha itu
terdapat makam sayyid Ahmad Badawi yang terkenal itu. Di antara syekh
kami ada yang menghabiskan sebagian besar siang dan malamnya di samping
makam sayyid Badawi. Saya pernah berdialog dengan salah seorang syekh
kami tersebut, seorang ahli fiqih mazhab Hanafi, namun ia termasuk
dalam kelompok orang-orang yang menyakralkan tasawuf dan para wali.
Saat itu, ia sedang mengajarkan kepada kami bab al-Udhhiah ‘kurban’ (dan
saya saat itu adalah orang yang senang mengaitkan fiqih dengan
kehidupan sehari-hari). Saya berkata kepadanya, “Pak guru, saat ini,
masyarakat sudah melupakan sunnah ini sehingga orang yang berkurban
amat sedikit sekali. Saya pikir para syekh bertanggung jawab dalam
masalah ini dan mereka dapat memperingatkan masyarakat untuk
memperhatikan sunnah ini.” Syekh kami itu menukas, “Hal itu terjadi
karena kemampuan finansial masyarakat saat ini lemah.” Saya kembali
berkomentar, “Namun, dalam kesempatan lain, mereka malah berkurban
untuk sesuatu yang bukan sunnah.” Mendengar itu ia bertanya, “Apa yang
engkau maksud?” Saya menjawab, “Maksud saya, mereka berkurban pada saat
peringatan kelahiran sayyid Badawi. Saat peringatan itu, masyarakat
menyembelih puluhan, bahkan ratusan atau ribuan domba, sementara pada
Idul Adha amat sedikit yang berkurban. Seandainya para syekh
mengarahkan masyarakat untuk menghidupkan sunnah berkurban ini, yaitu
sebagai ganti mereka berkurban pada saat peringatan kelahiran sayyid
Badawi maka mereka berkurban pada hari Idul Adha, niscaya dengan itu
mereka telah menjalankan Sunnah. Sekalipun mereka tidak menyedekahkan
sedikit pun dari kurban mereka, namun semata mengalirkan darah kurban
pada hari itu sudah menjadi bentuk penghidupan syiar Islam. “Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (al-Kautsar: 2)
Setelah saya berkata seperti itu, guru saya langsung marah kepada
saya dan mengeluarkan saya dari ruang kelas. Ia kemudian menganggap
saya sebagai pembuat onar yang membenci para wali serta kaum shalihin.
Ini mengingatkan saya pada satu pernyataan bahwa setiap kali suatu
kaum menghidupkan bid’ah dan menyibukkan diri mereka dengan bid’ah itu,
niscaya saat itu pula mereka mematikan sunnah sejenis. Inilah salah
satu rahasia mengapa bid’ah diperangi dalam Islam.
5. BID’AH DALAM AGAMA MEMBUAT MANUSIA TIDAK KREATIF DALAM URUSAN-URUSAN KEDUNIAAN
Dari segi lain, sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, jika
manusia mencurahkan energi dan perhatiannya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan bid’ah yang ditambahkan ke dalam agama, niscaya
mereka tidak lagi mempunyai energi untuk berusaha di dunia dan
berkreasi dalam urusan-urusan duniawi.
Bid’ah, seperti telah kami sinyalir sebelumnya, adalah “jalan
beragama yang dibuat-buat”. Pada dasarnya, manusia harus mengembangkan
kreativitasnya dalam bidang keduniaan, namun karena manusia telah
mencurahkan seluruh kreativitasnya dalam urusan-urusan agama maka ia
tidak lagi dapat berkreasi dalam urusan-urusan duniawi.
Oleh karena itu, generasi Islam yang pertama banyak menelurkan
kreativitas dalam bidang-bidang duniawi dan memelopori banyak hal yang
belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga, mereka dapat membangun
peradaban yang besar dan tangguh yang menyatukan antara ilmu
pengetahuan dan keimanan, antara agama dan dunia. Ilmu-ilmu Islam yang
dihasilkan pada masa itu, seperti ilmu alam, matematika, kedokteran,
astronomi, dan sebagainya menjadi ilmu-ilmu yang dipelajari di seluruh
dunia dan masyarakat dunia belajar tentang ilmu-ilmu itu dari kaum
muslimin.
Mayoritas motif yang melatarbelakangi kaum muslimin generasi pertama
untuk menggeluti dan mengembangkan ilmu-ilmu tadi adalah motif agama.
Apakah Anda mengetahui mengapa al-Khawarizmi menciptakan ilmu aljabar?
Ia menelurkan ilmu itu untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu
dalam bidang wasiat dan warisan. Tentang warisan, juga wasiat, sebagian
darinya memerlukan hitung-hitungan matematika. Oleh karena itu,
al-Khawarizmi menulis bukunya yang berbicara tentang ilmu aljabar dalam
dua juz; juz pertama tentang wasiat dan warisan, juz kedua tentang
aljabar.
Saat Dr. Musa Ahmad dan kelompoknya mentahqiq kitab al-Khawarizmi
itu, mereka memberikan anotasi-anotasi pada juz yang berbicara tentang
aljabar, sedangkan pada juz yang berbicara tentang wasiat dan warisan,
mereka berkata, Kami tidak memahaminya dan kami tidak mengerti sedikit
pun apa yang tertulis di dalamnya.” Pada masa generasi pertama Islam,
ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan agama. Tidak ada dikotomi
(pembagian / pencabangan) diantara keduanya.
[37]
Para ilmuan dan dokter saat itu juga berstatus ulama dalam bidang
agama. Ibnu Rusyd, pengarang kitab al-Kulliyyat dalam bidang
kedokteran, adalah juga seorang qadhi, pengarang kitab Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul-Muqtashid dalam bidang fiqih. Kitab itu merupakan
kitab fiqih komparatif yang paling baik.
Yang aku ingin tekankan adalah, kaum muslimin pada masa keemasan
Islam, dalam bidang agama, mereka semata berpegang pada nash dan
Sunnah, sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan, mereka berkreasi,
menciptakan hal-hal baru, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
penemuan yang telah ada. Sementara, pada masa kemunduran Islam, yang
terjadi adalah sebaliknya. Orang banyak sekali menciptakan hal-hal baru
dalam bidang agama, sementara beku dan statis dalam bidang-bidang
keduniaan. Mereka (kaum muslimin era kemunduran Islam) berkata,
“Generasi pertama Islam sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada
generasi berikutnya untuk menciptakan hal-hal baru dan kita sama sekali
tidak dapat melakukan seperti apa yang mereka telah perbuat.”
sehingga, kehidupan umat Islam menjadi beku dan statis, seperti air
yang terjebak tak bergerak dan berubah menjadi busuk. Dengan demikian,
pengingkaran perbuatan bid’ah dalam bidang agama bermakna menyiapkan
energi manusia untuk berkreasi dan mengembangkan urusan-urusan
keduniaan.
6. BID’AH DALAM AGAMA MEMECAH BELAH DAN MENGHANCURKAN PERSATUAN UMAT
Yang keenam adalah berpegang teguh pada Sunnah akan menyatukan umat
sehingga membuat mereka menjadi satu barisan yang kokoh di bawah
bimbingan kebenaran yang telah diajarkan oleh Nabi saw.. Karena, Sunnah
hanya satu, sedangkan bid’ah tidak terbilang banyaknya. Kebenaran
hanya satu, sedangkan kebatilan beragam warna dan bentuknya. Jalan
Allah SWT hanya satu, sedangkan jalan-jalan setan amat banyak. Dalam
hadits riwayat Ibnu Mas’ud r.a.,
[38] ia berkata, “Suatu hari, Rasulullah saw. membuat garis lurus di hadapan kami,
[39]
kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah.’ Setelah itu,
beliau menggaris beberapa garis di samping kiri dan samping kanan garis
yang pertama tadi, dan bersabda, ‘Jalan-jalan ini (adalah selain jalan
Allah), masing-masing didukung oleh setan yang menggoda manusia untuk
mengikuti jalan itu.’ selanjutnya, beliau membaca ayat, “Dan, bahwa
(yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia….” (al-An’aam:153)
Oleh karena itu, saat umat secara konsekuen mengikuti Sunnah maka
saat itu mereka bersatu padu. Sementara, saat timbul beragam sekte dan
mazhab maka umat terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan.
Bahkan, masing-masing golongan itu pada gilirannya kembali terpecah
menjadi kelompok-kelompok kecil. Dan, masing-masing golongan dan
kelompok itu meyakini bahwa mereka sajalah penganut agama Islam yang
sebenarnya. Selanjutnya, masing-masing golongan itu menciptakan bid’ah
tersendiri yang demikian banyak.
Sebagian bid’ah itu dalam bidang akidah hingga kadang-kadang ada yang
sampai kepada kekafiran, seperti golongan yang mengingkari ilmu Allah
SWT dan berkata, “Hal ini adalah sesuatu yang baru sama sekali.” Maksud
ucapan mereka itu adalah Allah SWT tidak mengetahui hal itu
sebelumnya. Mereka itulah yang dikecam dengan keras oleh Ibnu Umar dan
ia pemah berkata tentang mereka, “Sekalipun mereka melakukan amal
kebaikan sebesar Gunung Uhud, (namun karena perkataan dan sikap mereka
tadi) niscaya Allah SWT tidak menerima amal perbuatan mereka itu.
Juga ada kelompok yang menganut antropomorfisme yang menyerupakan
wujud Allah SWT dengan makhluk-Nya, mereka terkenal sebagai kelompok
Musyabbihah dan Mujassimah. Di antara mereka ada yang mengingkari
kodrat Allah SWT, meskipun mereka tidak mengingkari ilmu-Nya. Di antara
mereka ada yang mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah
mereka, seperti kalangan Khawarij, meskipun ketekunan ibadah mereka
amat mengagumkan dan meskipun dalam hadits Nabi saw. pernah diungkapkan
tentang mereka, “Dan kalian ada yang melihat shalatnya lebih sederhana
dari shalat mereka, qiyamullailnya lebih sederhana dari qiyamullail
mereka, dan bacaannya lebih sederhana dari bacaan mereka.”
Setelah itu, timbul kalangan tasawuf yang sebagian mereka
mengungkapkan hal-hal yang sama sekali tidak dilandasi syariat, seperti
berpedoman hanya kepada dzauq ‘rasa’ dan intuisi, bukan kepada
syariat. Menurut mereka, orang tidak perlu berpegang pada apa yang
difirmankan oleh Rabbnya, namun yang terpenting adalah berpedoman pada
apa yang dikatakan oleh hatinya. Salah seorang dari mereka dengan
bangga berkata, “Hatiku berkata kepadaku berdasarkan informasi dari
Tuhanku.” Karena, ia mengambil informasi langsung dari “atas”. Oleh
karena itu, saat dikatakan kepada salah seorang dari mereka, “Marilah
kita membaca kitab Mushannaf Abdurrazzaq,” ia menjawab, “Apa manfaatnya
karya Abdurrazzaq itu bagi orang yang mengambil ilmunya langsung dari
sang Khaliq?” Maksudnya, ia mengambil ilmunya langsung dari Allah SWT,
tanpa melalui perantara!
Dari mereka ada yang berkata, “Kalian mengambil ilmu kalian dari
orang yang telah mati yang mendapatkannya dari orang yang telah mati
pula, sementara kami mengambil ilmu kami dari Zat Yang Maha Hidup, Yang
tidak mati!” Malik dari Nafi dari Ibnu Umar, mereka semua telah mati;
mata rantai riwayat emas ini (seperti dinamakan oleh para ahli hadits)
bagi kalangan tasawuf dipandang sebagi mata rantai karatan yang tidak
bermanfaat sama sekali.
Diantara istilah yang dikembangkan oleh mereka adalah hakikat dan
syariat. Kalangan ahli syariat melihat dan memperhatikan sisi yang
zahir, sedangkan kalangan ahli hakikat melihat dan memperhatikan sisi
batin. Oleh karena itu, mereka berkata, “Orang yang melihat manusia
dengan mata syariat, niscaya ia akan membenci mereka, sedangkan orang
yang melihat manusia dengan mata hakikat, niscaya ia akan memberikan
uzur (sikap memaklumi) kepada mereka.”
Orang yang berzina, bermabuk-mabukan, pembuat kezaliman, dan
kediktatoran, yang menyiksa manusia dan membunuh ratusan, bahkan ribuan
orang, serta yang menghancurkan kampung-kampung dan kota-kota; mereka
itu, jika Anda lihat mereka dengan mata syariat niscaya Anda akan
membenci mereka karena syariat membenci kemungkaran, kezaliman, dan
para pelakunya. Namun, jika Anda memandang mereka dengan mata hakikat,
niscaya Anda akan memberikan uzur kepada mereka. Karena, meskipun
mereka tidak menjalankan perintah Allah SWT, namun pada hakikatnya
mereka menjalankan iradah ‘kehendak’ Allah SWT karena Allah SWT-lah yang
menghendaki semua hal itu. Allah SWT menggerakkan manusia sesuai
dengan kehendak-Nya, lantas apakah Anda ingin turut campur dalam
kekuasaan Allah SWT? Biarkanlah kekuasaan berjalan di tangan raja,
sementara manusia yang lain, biarkanlah mereka hidup sesuai dengan
kehendak sang Khalik. Dengan begitu, tumbuh suburlah sikap pasif dalam
menghadapi kerusakan dan penindasan, demikian juga dalam dunia
pendidikan. Hingga dalam bidang yang terakhir ini, tasawuf mencabut
kepribadian manusia, yaitu seperti postulat tasawuf “sikap seorang murid
di hadapan syekhnya adalah seperti sikap mayat di tangan orang yang
memandikannya”, Siapa yang bertanya kepada syekhnya: “Mengapa?” Maka,
sang murid itu tidak akan ‘sampai’ ke tujuannya, dan seterusnya.
Kemudian berapa banyak tarekat yang telah timbul di kolong langit
ini? Jika umat Islam kita biarkan mengikuti dan menjalankan praktek
bid’ah, niscaya mereka tidak akan bersatu dalam satu shaf. Umat Islam
hanya dapat bersatu jika mereka berdiri di belakang Rasulullah saw. dan
mengikuti kitab Allah yang muhkam dan Sunnah Rasul-Nya. Setelah mereka
bersikap seperti itu, tidak menjadi masalah jika mereka kemudian berbeda
pendapat dalam masalah-masalah furu’ (cabang). Perbedaan pendapat dalam
bidang furu’ ini tidak merusak ukhuwah, juga tidak menghalangi
persatuan Islam. Para sahabat sendiri banyak berbeda pendapat dalam
masalah furu’
[40], namun mereka tetap bersaudara, dan tetap sebagai kaum muslimin.
MENGINGKARI BID’AH DAN MEMERANGINYA ADALAH LANGKAH UNTUK MEMELIHARA KEMURNIAN ISLAM
Karena semua hal tadi maka mengingkari bid’ah dan perbuatan bid’ah
adalah tindakan yang dapat menjaga kemurnian Islam hingga saat ini
sehingga Islam tidak mengalami distorsi dan adisi seperti yang dialami
oleh agama-agama yang lain.
Benar di kalangan kaum muslimin terjadi banyak perbuatan bid’ah dan
pihak-pihak yang menciptakan bid’ah, yaitu orang-orang jahil yang tidak
mempunyai ilmu agama dan memberikan pengajaran agama dengan tanpa ilmu
sehingga mereka sesat dan menyesatkan, namun di sepanjang masa selalu
timbul tokoh di kalangan umat Islam yang memperbarui agama mereka.
[41] Selalu ada tokoh-tokoh yang menghidupkan Sunnah dan mematikan bid’ah.
[42]
Sehingga, setidaknya, Sunnah Rasulullah saw. tetap dapat diketahui
dengan jelas dan umat ini tidak sampai bersepakat dalam kesesatan;
[43] atau mengakui bid’ah, atau perbuatan bid’ah itu berubah menjadi bagian agama Islam.
Pengingkaran bid’ah itulah yang menjaga rukun-rukun pokok Islam.
Bilangan kewajiban shalat tetap terjaga sebanyak lima waktu hingga saat
ini, berikut ketentuan waktu dan aturan pelaksanaannya. Pelaksanaan
ibadah puasa tidak dipindahkan dari bulan Ramadhan, tidak seperti yang
dilakukan oleh Ahli Kitab yang memindahkan waktu pelaksanaan puasa
mereka. Dan, waktunya pun tetap dari fajar hingga tenggelamnya
matahari. Tata laksana ibadah haji juga tetap seperti itu. Demikian
juga aturan zakat tetap seperti sediakala. Pokok-pokok utama Islam
tetap terjaga keautentikannya, meskipun telah terjadi banyak bid’ah dan
beragam penyimpangan pemikiran di sepanjang masa.
Yang menjaga semua hal tadi adalah prinsip ini, yaitu bid’ah
merupakan perbuatan yang tertolak dalam pandangan Islam. Dengan
demikian, Islam adalah agama yang agung dan logis, sesuai dengan alur
postulat logika yang benar. Lantas, setelah agama ini melewati masa
empat belas abad, jika kita menemukan seseorang menulis sebuah artikel
dan berkata, “Mengingkari bid’ah dan membenci sesuatu yang baru, apakah
sikap islami atau sikap jahiliah?” Apa yang kita akan katakan kepada
orang itu?
Perhatikanlah taktik pengelabuan dalam penulisan judul artikel itu.
Di situ, kata “pengingkaran bid’ah” disejajarkan dan disandingkan
dengan “membenci hal-hal baru”, Subhanallah! Padahal, siapa yang pernah
berkata bahwa mengingkari bid’ah berarti membenci segala hal yang
baru? Kaum muslimin, baik itu kalangan pengikut Sunnah maupun pembuat
bid’ah, semuanya mempergunakan hal-hal baru. Bahkan, orang-orang yang
amat mengikuti Sunnah, mereka mengendarai mobil, mempergunakan telepon,
berbicara dengan mikropon, menaiki pesawat, dan sebagainya. Namun,
tidak ada yang mengatakan bahwa menaiki pesawat dan sebagainya itu
adalah bid’ah dan kita harus mengendarai unta, seperti yang dilakukan
oleh Nabi saw..
Lantas, apa makna redaksi “mengingkari bid’ah dan membenci hal-hal
baru, apakah sikap islami atau jahiliah?” Itu adalah sebuah taktik
pengelabuan yang vulgar, yang menjadi tertawaan orang. Orang yang
menulis artikel itu secara implisit berkata bahwa Islam itu sendiri
adalah suatu bid’ah terhadap kejahiliahan. Maka, jika kita mengikuti
alur logika ini — atau pengingkaran terhadap bid’ah — maka kita juga
harus mengingkari Islam, sebagaimana orang-orang jahiliah mengingkari
Islam. Karena, bagi orang-orang jahiliah itu, Islam adalah sesuatu yang
baru.
Subhanallah! Kejahiliahan itu sendiri sebenarnya suatu bid’ah, yaitu
bid’ah yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah terhadap agama. Mereka
menyelewengkan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim a.s. dengan
bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan itu. Karena, agama Nabi Ibrahim a.s.
pada dasarnya adalah agama yang hanif, “Ibrahim bukan seorang Yahudi
dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang
lurus (hanif) lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali
bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Ali Imran: 67)
Namun, orang-orang jahiliah kemudian menambahkan bid’ah-bid’ah baru
dalam agama yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim a.s.. Tentu saja bid’ah
yang mereka ciptakan itu ditujukan untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah. Saat mereka menyembah berhala, apa tujuan mereka menyembah
berhala-berhala itu? Mereka berkata, “..Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya.”(az-Zumar: 3)
Orang-orang jahiliah yang menambahkan praktek-praktek baru dalam
pelaksanaan ibadah haji (diantaranya berthawaf dengan bertelanjang
tanpa pakaian sehelaipun), maka mengapa mereka melakukan hal itu? “Kami
tidak boleh berthawaf dengan memakai pakaian kami karena kami telah
melakukan maksiat kepada Allah SWT saat mengenakan pakaian itu.” Oleh
karena itu, merekapun kemudian berthawaf dengan bertelanjang bulat.
Keburukan dan kebobrokan jahiliah, pada dasarnya diciptakan oleh praktek
perbuatan bid’ah dalam agama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui
kitab-kitab suci-Nya dan para rasul-Nya yang memberikan berita gembira
dan ancaman. Kemudian, Islam pada hakikatnya adalah suatu gerakan
kembali ke asal, yaitu ke agama fitrah yang difitrahkan oleh Allah SWT
bagi seluruh manusia. Ia adalah agama yang diserukan oleh Ibrahim a.s.,
“Dan, siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan,
dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (an-Nisaa’:125)
Sebenarnya, seluruh redaksi yang ditulis oleh penulis artikel itu
hanyalah berisi kesalahan-kesalahan semata. Namun demikian, saya ingin
membicarakan masalah ini hingga tuntas sehingga kita dapat menangkap
pemahaman yang jelas dan benar tentang sunnah dan bid’ah.
BEBERAPA PENYIMPANGAN YANG DILAKUKAN OLEH PENULIS ARTIKEL
Pada bagian ini, saya akan mengungkapkan sebagian substansi yang
ditulis oleh penulis artikel itu yang diterbitkan oleh majalah
“ad-Doha”.
Dalam artikel itu, ia menolak banyak hadits Nabi saw. hingga hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sekalipun. Misalnya, ia
menolak hadits, “Jauhilah perkara perkara bid’ah karena seluruh
perbuatan bid’ah adalah sesat.” Juga hadits, “Kalian akan mengikuti
perilaku umat-umat sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan
satu hasta demi satu hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang
biawak sekalipun kalian akan memasuki lubang yangsama itu, atau kalian
mengikuti tindakan mereka itu.”
Ia (penulis artikel itu) mengklaim bahwa hadits-hadits tadi
bertentangan dengan Al-Qur’an. Mengapa ia berkata demikian? Dan,
bagaimana mungkin hadits-hadits seperti itu bertentangan dengan Al-Qur
an?
Ibnu Taimiyah telah mengarang kitab tentang masalah ini yang ia beri
judul Iqtidha Shiraath al-Mitstaqiim Mukhalafatu Ahlil-Jahiim ‘Meniti
Jalan Lurus Adalah Meninggalkan Praktek Orang-Orang Penghuni Neraka’.
Jalan lurus itu adalah shiraathal-mustaqiim yang kita selalu pinta
kepada Allah SWT agar kita ditunjukkan kepada jalan itu, minimal
sebanyak tujuh belas kali sehari, Yaitu dengan membaca surah
al-Faatihah, “Tunjukilah kami jalan yang lurus,” (al-Faatihah: 6)
Ini mengharuskan kita untuk menentang dan meninggalkan praktek
orang-orang penghuni neraka yang disebut dalam firman Allah SWT,
“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat.” (al-Faatihah: 7)
Para penghuni neraka adalah orang-orang yang dimurkai Allah SWT dan
orang-orang yang sesat. Kita mempunyai jalan tersendiri dan mereka
mempunyai jalan-jalan lain. Dalam salah satu hadits disinyalir,
“Kalangan yang dimurkai Allah itu adalah umat Yahudi dan kalangan yang
sesat itu adalah umat Nasrani.”
Jalan kita berbeda dengan jalan-jalan mereka. Al-Qur’an telah
menetapkan bagi kita jalan yang berbeda dengan jalan-jalan mereka itu.
Al-Qur’an telah melarang kita dalam banyak ayatnya, menjadi seperti
mereka atau melakukan pola hidup dan perilaku seperti mereka. Allah SWT
berfirman, “Dan, janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas
kepada mereka…. “(Ali Imran: 105)
Masih banyak lagi ayat lain, demikian juga hadits-hadits Nabi saw.
yang berbicara tentang hal itu, yang keseluruhannya memberikan
pernyataan dengan yakin bahwa umat ini mempunyai karakteristik yang
istimewa dan khas dan ia tidak boleh mengekor kepada umat-umat lain.
Dari kenyataan itu, dalam banyak hadits disabdakan pernyataan
khalifuuhum ‘bersikap dan berlakulah yang berbeda dengan mereka’. Dan,
sabda itu diulang berkali-kali dalam banyak kesempatan.
Independensi kepribadian dan keistimewaan umat Islam tumbuh dari ini,
baik dalam penampilan (mazhhar) maupun dalam ilmu pengetahuan
(makhbar). Oleh karena itu, kita tidak dibenarkan mengikuti pola
kehidupan dan pola perilaku mereka yang menyebabkan kita sama seperti
mereka.
Kita harus memiliki kepribadian sendiri karena umat Islam adaiah umat
wasath ‘pertengahan’ yang menjadi saksi bagi seluruh umat manusia. Kita
menempati kedudukan sebagai “profesor agung” bagi seluruh umat
manusia. Kita adalah umat terbaik yang pernah ada di muka bumi. Lantas,
mengapa kita harus mengikuti umat lain?
Rasulullah saw. ingin menanamkan kesadaran akan kemuliaan,
keistimewaan, dan independensi kepribadian ini dalam diri kita, dan
beliau tidak menginginkan kita menjadi pengekor dan pengikut umat lain.
Oleh karena itu, Rasulullah saw. menyabdakan hadits berikut ini yang
meskipun disampaikan dalam bentuk berita, namun ia secara implisit
mengandung makna peringatan, “Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat
sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu
hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kalian
akan memasuki lubang yang sama itu.”
Yang dimaksud dengan lubang biawak dalam hadits itu adalah yang kita
kenal sekarang ini dengan nama “trend dan mode”. Atau, bisa kita
namakan dengan “mode lubang biawak”. Jika mereka (
non muslim,
terutama Barat) memanjangkan kuncir mereka, para pemuda kita pun
memanjangkan kuncir mereka. Jika mereka menjadi ‘yuppies’ dan
‘hippies’, pemuda kita pun turut menjadi yuppies dan hippies. Ke mana
larinya kepribadian istimewa kita yang independen itu? Apakah ada orang
yang rela meninggalkan agama dan kepribadian Islamnya untuk kemudian
mengikuti kesesatan umat lain?
Kemudian, mengapa ada orang yang mensinyalir bahwa hadits ini bertentangan dengan Al-Qur’an?
Saat Rasulullah saw. ditanya, “siapakah yang dimaksud dengan ‘mereka’
itu? Apakah orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi
kalau bukan mereka?”
Bukankah amat disayangkan jika saat ini “guru” kita adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrani? Kita dengan sukarela menjalankan
poin-poin yang ditulis dalam “Protokol-Protokol Pemimpin Zionis”, baik
protokol-protokol itu benar milik mereka maupun bukan. Apa yang mereka
kehendaki, secara sadar atau tidak, kita telah jalankan dengan tekun
sehingga kita menjadi permainan mereka.
Penulis artikel itu mencela dan mengingkari kaum muslimin yang ingin
kembali mengikuti jalan Nabi saw., para sahabat, dan cara kehidupan
mereka. Aneh sekali sikap sang penulis artikel itu. Apakah keinginan
untuk mengikuti Nabi saw. dan para sahabat beliau dalam pola kehidupan
mereka patut dicela dan diingkari? Kita mengikuti manhaj Nabi saw. dan
para sahabat beliau dalam memahami dan menjalankan agama dengan baik;
menjaga pokok-pokok agama itu, memperhatikan substansinya, dan
memperhatikan masalah-masalah kehidupan serta melakukan pengembangan
dalam kehidupan. Inilah yang kita maksud dengan mengikuti Nabi saw. dan
para sahabat beliau itu.
Kemudian, penulis artikel itu berkata, “Aku menemukan di antara
sekian hadits, ada hadits yang mensinyalir bahwa ulama adalah pewaris
para nabi. Aku memahami dari hadits itu bahwa orang yang mewarisi
peninggalan mempunyai kewajiban moral yang mengharuskan dirinya untuk
memelihara warisan itu dan mengembangkannya. Oleh karena itu, para
pewaris nabi-nabi mempunyai kewajiban untuk memelihara warisan ruhani
yang ditinggalkan oleh para nabi dan mereka juga berkewajiban untuk
mengembangkan warisan yang mereka terima itu. Seperti halnya seseorang
yang mewarisi toko, ia berhak bahkan berkewajiban untuk mengembangkan
toko itu dan menambahkan barang-barang dagangannya, mengganti barang
dagangannya yang sudah kadaluwarsa atau yang sudah tidak laku lagi,
sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumen. Demikian juga halnya yang
harus dilakukan oleh para pewaris nabi terhadap warisan yang mereka
terima itu.”
Artinya, menurut penulis artikel itu, para ulama harus menambahkan
ajaran agama, mengembangkan, meluaskan, dan menyisipkan hal-hal baru.
Demi Allah, apakah hal ini dapat diterima akal? Apakah ucapan tadi
logis dan dapat diterima? Yaitu, menganalogikan ajaran-ajaran agama
dengan barang-barang dagangan yang diperjualbelikan di toko!!!
Selanjutnya ia berkata, “Meskipun mayoritas ulama tidak menyetujui
pengembangan dan penambahan hal baru ke dalam agama, mereka hanya
menjalankan taklid buta dan sikap ‘stagnan’ yang batil. Dan, mereka
menjustifikasikan ditutupnya pintu ijtihad dengan kemuliaan dan
kejayaan Islam pada era pertamanya.”
Subhanallah! Penutupan pintu ijtihad itu sendiri adalah bid’ah karena
hal itu adalah suatu sikap dan perbuatan baru dalam agama yang tidak
diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan tidak dilakukan oleh para
sahabat, namun hal itu baru terjadi pada masa-masa kemudian. Tidak ada
seorang pun yang memiliki otoritas untuk menutup pintu ijtihad yang
telah dibuka oleh Allah SWT dan Rasulullah saw..
Perkara-perkara dunia dapat ditambah dan dikembangkan, sedangkan
perkara-perkara agama tidak boleh ditambah atau dikurangi. Karena hal
itu, seperti telah kami katakan, adalah suatu tindakan mengkritik Allah
SWT dan menuduh agama ini tidak lengkap, dan sebagainya.
Dengan demikian, apakah makna peluasan agama itu? Karena, sesuatu
yang sudah sempurna sesungguhnya tidak lagi dapat ditambah. Firman
Allah SWT, “. . Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu
jadi agama bagimu…” (al-Maa’idah : 3)
Catatan Kaki:
[1] Maksudnya di Qathar,penj.
[2]
Penjelasan lebih terperinci tentang hal ini dapat dibaca pada buku
karya Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Madkhal li Dirasat As-Sunnah
an-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah wahbah), hlm. 7-13.
[3]
Redaksi hadits di atas merupakan bagian dari hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi dengan periwayatan
secara ringkas. Lihat karya Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Muntaqa min Kitab
at-Targhib tva Tarhib, 1/115, hadits 41. Dan, pengertian “barangsiapa
membiasakan (memulai atau menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam
Islam” adalah selama masa hidupnya, bukan setelah kematiannya, atau
karena peran orang tua atau keturunan-keturunannya.
[4]
Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban
dalam kitab shahih-nya, dan Ahmad. Tirmidzi berkata bahwa hadits ini
hasan sahih. Lihat al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhiib 1/ 110,
hadits 24.
[5]
Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir r.a.. Lihat karya
an-Nawawi, Riyadhush Shalihin, bab “an-Nahyu’an al-Bida’ wa Muhdatsaat
al-Umur”.
[6]
Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Hakim dalam al-Mustadrak dari
jalan periwayatan Imam Ahmad, dan oleh Ibnu Abi Ashim dengan sanad
hasan dalam kitab as-Sunnah, hadits no. 48, dengan takhrij al-Albani,
dan ia mensahihkannya dengan lanjutannya. Lihat kitab al-Muntaqa min
Kitab at-Targhib wa Tarhib, 1/114, hadits no. 39.
[7]
Ia adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami al-Garnathi yang
terkenal dengan asy-Syathibi. Ia adalah seorang ahli ushul fiqih dan
hafizh hadits dari kalangan penduduk Garnathah (Grenada, saat ini). Di
samping itu, ia juga seorang imam mazhab Maliki. wafat pada tahun 790
H/1388 M (lihat: al-A’laam, Zerekly, 10/75). Di antara karya-karyanya
adalah kitab al-Muwafaqaat fi Ushul asy-syari’ah, sebuah kitab yang
amat bagus yang ditulis dalam bidang itu. Juga kitab al-I’tishaam fi
Bayaan assunnah wal-Bid’ah. Kitab terakhir itu juga kitab yang amat
bagus yang ditulis dalam bidang itu. Namun sayangnya, sampai saat ini
manuskrip nash kitab itu hanya ada satu buah, yang kemudian dicetak,
di-tashih, dan diberikan anotasi oleh Imam Salafiah kontemporer: syeikh
Muhammad Rasyid Ridha r.a. pengasuh majalah al-Manar dan pengarang
tafsir al-Manar. Di dalam kitab itu terdapat banyak kontradiksi antar
kalimat, dan redaksi-redaksi yang tidak jelas, namun karena manuskrip
nash yang ada hanya satu buah saja sehingga naskah itu tidak dapat
dikomparasikan antara dua naskah atau antara berbagai naskah manuskrip,
untuk mencapai bentuk redaksional yang sebaik-baiknya, seperti yang
dilakukan oleh para pen-tahqiq manuskrip-manuskrip lama. Sebagai
tambahan, asy-Syathibi juga tidak menyelesaikan penulisan kitab itu.
[8] Asy-Syathibi, al-I’tishaam (Beirut: Darul Ma’rifah), juz 1, hlm. 37.
[9]
Hadits Muttafaq ‘alaih dari hadits riwayat Aisyah r.a.. Lihat: Syarh
Sunnah, karya al-Baghawi, dengan tahqiq Zuhair asy-Syawisy dan Syu’ aib
al-Arnauth, 1/211, hadits no: 103.
[10]
Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah.
Lihat al-Muntaqa min Kitab at Targhiib wa Tarhiib, 1/112, hadits no:
32.
[11]
Potongan dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi, dan Nasai, dari Umar bin Khaththab r.a. Lihat al-Muntaqa min
Kitab at-Targhiib wat-Tarhiib, 1/102-103, hadits no: 3.
[12]
Lebih jauh tentang hal ini dapat dibaca dalam buku al-Madkhal li
Dirasat As-Sunnah an-Nabawiyyah, hlm. 24-32, karya Dr. Yusuf
al-Qardhawi. Juga sebuah kuliah yang pernah disampaikan olehnya di
Fakultas syari’ah Universitas Qathar tentang topik seputar “Sunnah Nabi
dan Ragamnya”. Di samping itu, ia juga mempunyai dua tulisan yang
berkaitan dengan topik ini, yaitu al-Janib at-Tasyriri fi Sunnah
an-Nabawiyah yang dipublikasikan oleh Markaz Sunnah dan Sirah dalam
jurnal tahunannya. Demikian juga bukunya as-Sunnah Mashdaran lil
Ma’rifah wal-Hadharah. (Buku terakhir telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh Abdul Hayyie al-Kattani, dan diterbitkan oleh
Gema Insani Press, 1998].
[13]
Dari Aisyah r.a., ia berkata, “Nabi saw. setiap kali beliau usai
melaksanakan shalat dua rakaat sebelum shubuh, beliau berbaring pada
sisi kanan beliau.” Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab at-Tahajjud,
bab “adh-Dhaj’ah ‘ala syaqqil-Aiman Ba’da Rak’atai al-Faji’.
[14]
Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq. Dalam mata rantai periwayatannya
terdapat seorang perawi yang namanya tidak disebut dengan jelas. Lihat
Fathul Bari, kitab at-Tahajjud, bab “Man Tahaddatsa Ba’da Rak’ataul wa
lam Yadhthaji”.
[15]
Hadits Muttafaq ‘alaih dari hadits Umar bin Abi salmah, Syarh Sunnah
karya al-Baghawi, tahqiq asy-Syawisy dan al-Amauth, 11 /275, hadits no.
2823.
[16]
Hadits diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Malik serta Abu Dawud
juga meriwayatkan hadits yang sama redaksinya dari hadits Ibnu Umar.
Lihat juga al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhib, 2:598-599, hadits
1238.
[17]
Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Iyas bin Salmah bin
Akwa’ bahwa ayahnya meriwayatkan kepadanya bahwa seseorang makan
bersama Rasulullah saw. sambil menggunakan tangan kirinya. Kemudian,
Rasulullah saw. memerintahkan orang itu, “Makanlah dengan tangan
kananmu.” Ia menjawab, “Aku tidak bisa.” Rasulullah saw. kembali
bersabda, “Engkau pasti bisa.” Yang menghalangi dirinya untuk makan
dengan tangan kanan hanyalah semata kesombongannya saja. sang periwayat
kembali berkata bahwa orang itu kemudian tidak lagi dapat mengangkat
tangannya ke mulutnya. Lihat Kitab al-ASyribah, bab “Adab ath-Tha’am wa
Syarab wa Ahkamuha”.
[18]
Oleh karena itu, Ibnu Umar r.a. dikenal sebagai sahabat yang amat
senang mengikuti segala tingkah laku Rasulullah saw. karena ia amat
senang mengikuti ucapan dan perbuatan beliau.
[19]
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya dan Baihaqi
dalam Sunan-nya dari Zaid bin Aslam. Ia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar
shalat dengan kancing yang terbuka. Kemudian, aku bertanya kepadanya
mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab, “Karena aku pernah melihat
Rasulullah saw. melakukannya.”
[20]
Dari Mujahid, ia berkata, “Suatu saat kami berjalan bersama Ibnu Umar
r.a. dalam sebuah perjalanan. selanjutnya, kami melewati suatu tempat.
Tiba-tiba di tempat itu Ibnu Umar menepi dari jalan. Saat ia ditanya,
‘Mengapa engkau melakukan hal ihi?’ ia menjawab, ‘Karena aku pernah
melihat Rasulullah saw. melakukan hal itu maka aku pun melakukannya.”
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bazzaar dengan sanad yang baik. Haitsami
berkata bahwa para perawinya dapat dipercaya, Lihat al-Muntaqa min
Kitab at-Targhib wa Tarhib, 1/112, hadits 31.
[21]
Dari Ibnu Sirin, ia berkata: kami bersama Ibnu Umar r.a. di Arafat.
Saat ia istirahat, kami pun ikut istirahat bersamanya. Hingga datang
imam shalat, maka ia pun shalat zhuhur dan ashar bersamanya. Kemudian
aku dan sahabat-sahabatku wukuf bersamanya hingga imam bergerak keluar
dari Arafah. Setelah itu, kami pun ikut bergerak. Hingga sampai ke
suatu tempat sebelum Ma’zamain. Di situ, Ibnu Umar mengistirahatkan
kendaraannya, maka kami pun mengikutinya. Kami menyangka ia akan
melaksanakan shalat. Namun pembantunya yang menjaga kendaraannya
mengatakan bahwa ia tidak hendak melaksanakan shalat, namun ia
mengatakan bahwa Nabi saw., saat beliau sampai ke tempat itu, beliau
melaksanakan hajatnya. Oleh karena itu, Ibnu Umar pun ingin
melaksanakan hajat juga di tempat itu. Diriwayatkan oleh Ahmad, dan
para perawinya adalah para perawi yang dijadikan andalan dalam
kitab-kitab sahih. Atsar ini juga disebutkan oleh Al Hafizh al Manawi
dalam kitab At Targhiib wa at Tarhiib, fashal at Targhiib fi ittiba’ as
sunnah. Lihat: al Madkhal li Dirasat as Sunnah an Nabawiah, karya Dr.
Yusuf al Qaradhawi, hal: 24-32.
[22] Asy-Syathibi, al-I’tisham (Beirut: Darul Ma’rifah), juz 1/36.
[23]
Demikian juga halnya dengan Zaid bin Tsabit yang diperintahkan oleh Abu
Bakar untuk mengumpulkan catatan-catatan ayat Al-Qur an dan
mengkompilasikannya. Namun, Abu Bakar terus mendorong Zaid hingga Allah
SWT melapangkan dadanya, sebagaimana telah terjadi dengan Umar dan Abu
Bakar r.a..
[24]
Asy-Syathibi berkata bahwa Umar menamakannya seperti itu, dengan
melihatnya dari unsur luarnya, yaitu suatu pebuatan yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah saw.. Juga tidak pernah terjadi pada masa Abu
Bakar r.a.. Namun, bid’ah yang diucapkannya itu bukan bid’ah dengan
pengertian terminologis. Maka, siapa yang menamakan perbuatan tadi
sebagai bid’ah, dengan pengertian bid’ah seperti itu, maka tidak ada
yang perlu diperdebatkan dalam masalah istilah dan terminologi. Lihat
al-I’tishaam, 1/195.
[25]
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shalat Tarawih bab “Fadhlu man
Qaama Ramadhaan”. Dan, lafal hadits tadi dikutip darinya. Juga
diriwayatkan oleh Malik dalam kitab al-Muwaththa, bab “Bad’u Qiyaam
Layaali Ramadhaan”
[26]
Aisyah r.a. berkata,”Nabi saw. shalat (sunnah pada malam bulan
Ramadhan) di masjid, maka orang-orang kemudian mengikuti shalat beliau
itu. Pada malam kedua, beliau kembali shalat, dan kali ini para jamaah
semakin bertambah banyak. Setelah itu, pada malam ketiga atau keempat,
orang-orang berkumpul di masjid, namun Nabi saw. tidak keluar dari
rumah beliau. Pada pagi harinya, Rasulullah saw. bersabda, “Aku melihat
apa yang kalian lakukan itu, dan yang menghalangi diriku untuk keluar
dan shalat (tarawih) bersama kalian adalah karena aku takut jika shalat
itu sampai diwajibkan atas kalian.” hadits Muttafaq ‘afaih. Lihat
karya asy-syaukani, Nailul Authar, 3/61, Darul Fikr.
[27]
Asy-Syathibi berkata bahwa perhatikanlah, dalam hadits ini–yakni hadits
Aisyah tadi–ada indikasi yang menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah
sunnah karena, dengan kenyataan Rasulullah saw. melakukan qiyamullail
Ramadhan (shalat sunnah pada malam bulan Ramadhan) dengan berjamaah di
masjid, pada hari pertama dan kedua. Ini menunjukkan bahwa perbuatan
itu sah dan boleh dilaksanakan. Sementara, dengan tidak keluarnya
Rasulullah saw (pada malam ketiga atau keempat) itu karena
mengkhawatirkan jika shalat qiyamullail Ramadhan diwajibkan bagi umat
Islam, hal itu sama sekali tidak menunjukkan pelarangan perbuatan itu.
Karena, masa ini adalah masa turunnya wahyu dan syariat sehingga bisa
saja jika perbuatan itu kemudian diwajibkan bagi umat Islam. Oleh
karena itu, ketika illat syariat itu telah hilang dengan wafatnya
Rasulullah saw., maka kembalilah hukum masalah itu kepada hukum
asalnya. Dengan demikian, perbuatan ihi secara jelas dibolehkan dan
tidak ada penasakhan (penghapusan hukum) baginya. Lihat al-I’tishaam,
1/194.
[28]
Syekh Islam Ibnu Taimiyah telah menulis redaksinya yang amat bagus,
yang meng-counter orang yang menganggap baik perbuatan bid’ah, seperti
yang beliau tulis dalam kitabnya “Iqtidha shiiraathal-Mustaqim,
Mukhalafatu Ashhabu al-Jahim”, (Beirut: Darul Ma’rifah), him. 270 dan
seterusnya. Silakan dibaca kitab itu.
[29]
Pendapat mereka ini telah dibahas dan didiskusikan oleh Imam
asy-Syathibi secara mendetail. Pada akhirnya, ia berkesimpulan bahwa
pembagian bid’ah seperti ini adalah suatu perbuatan mengada-ada yang
sama sekali tidak didukung oleh syariat. Bahkan, ia bersifat
kontradiktif dalam dirinya sendiri. Karena, hakikat suatu bid’ah adalah
sesuatu yang sama sekali tidak mempunyai dalil, baik dari nash syariat
maupun dari kaidah-kaidahnya. Seandainya di dalam syariat ada sesuatu
dalil yang menunjukkan kewajiban, sunnah, atau bolehnya sesuatu
(perbuatan bid’ah) itu, niscaya tidak ada bid’ah dan niscaya perbuatan
itu masuk dalam kelompok perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan atau
diberi kesempatan untuk dikerjakan. Lihat al-I’tishaam, (Beirut: Darul
Ma’rifah), 1/188-211.
[30]
Ini merupakan bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Tirmidzi, dan Ibnu Jarir dari beberapa jalan periwayatan dari Adi bin
Hatim. Lihat dalam Tafsir Ibnu Katsir, (Istanbul: Dar Dakwah), 2/328
[31] Asy-Syathibi menyebut hal ini dalam kitabnya, al-I’tisham,l /49.
[32]
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a.. Nash lengkapnya
adalah sebagai berikut, “Pada suatu hari, seorang arab badwi kencing di
masjid. Melihat hal itu, beberapa orang langsung berdiri untuk
menghajarnya. Namun, Rasulullah saw. segera bersabda, Biarkanlah dia
dan tuangkanlah di bekas kencingnya sesiraman atas seember air. Karena,
kalian semata diutus untuk memberikan kemudahan, bukan untuk
memberikan kesulitan.” (Riyadhush Shalihin, an-Nawawi, bab “al-Hilm,
wal-Inat war-Rifq)
[33]
Hadits Muttafaq ‘alaih, dari hadits Ka’ab bin Ajrah. Syarh Sunnah III
Baghawi, tahqiq asy-Syawisy dan al-Amauth, 3/190, hadits 681.
[34] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah dalam adz-Dzikr wa Du’a, 2720.
[35]
Tentang hal ini, lihat fatwa Dr. Yusuf al-Qardhawi berkenaan tentang
doa-doa wudhu yang ma’tsur dan yang tidak ma’tsur, dalam bukunya,
Fatwa-Fatwa Kontemporer, juz I, him. 213-214.
[36]
Yaitu mimpi Abdullah bin Zaid, seperti terdapat dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan disahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu
Khuzaimah. Lihat Subulus-Salam, ash-shan’ani, bab “al-Adzaan”.
[37]
Bahkan dikotomi (pembagian / pencabangan) antara ilmu pengetahuan agama
dan ilmu pengetahuan umum itu sendiri adalah bid’ah yang sebelumnya
sama sekali tidak ada dalam wacana keilmuan Islam. Karena, Islam tidak
bersifat terpisah dari dunia. Penjelasan lebih mendalam tentang hal ini
dapat dilihat pada subjudul “al-Fisham an-Nakd”, dari buku
al-Mustaqbal Li Hadza Din, karya asy-Syahid Sayyid Quthb.
[38]
Sanadnya hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Al Musnad,
juga Ath Thabari, Al Hakim, ia juga mensahihkannya, dan disetujui oleh
Adz Dzahabi. Lihat: Syarh as Sunnah, al Baghawi, tahqiq: Asy-Syawisy
dan al-Arnauth:l/196-197, hadits 97.
[39]
Rasulullah saw. mengajarkan sahabatnya dengan alat peraga, dan salah
satu alat peraga yang biasa dipergunakan untuk mereka adalah pasir.
[40]
Bahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, “Aku tidak bergembira
jika seluruh sahabat Rasulallah saw. tidak berbeda pendapat sama
sekali. Karena jika mereka tidak berbeda pendapat sama sekali niscaya
kita tidak mungkin mendapatkan rukhshah (keringanan).”
[41]
Dari Abi Hurairah r.a. ia meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Allah akan mengutus bagi umat ini pada setiap awal seratus tahun
seseorang yang akan memperbarui agamanya.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud,
al-Hakim, al-Baihaqi dan selainnya, serta disahihkan oleh al-Iraqi dan
as-Suyuthi. Yang dimaksud dengan pembaruan agama, seperti disinyalir
dalam hadits itu, adalah pembaruan pemahaman terhadapnya, serta
keimanan dan beramal dengannya. Dr. Yusuf Qardhawi telah menjelaskan
panjang lebar tentang hadits ini dalam bukunya min Ajli Shahwahtin
Raasyidah, Tujaddiduddiin wa Tanhadhu bid-Dunya, hlm. 936, al-Maktab
al-Islami, Beirut; diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
Membangun Masyarakat Baru, Gema Insani Press, 1997.
[42]
Ibnu Jarir, Tammam dalam Fawa’id-nya, Ibnu Adi dan lainnya meriwayatkan
dari Nabi saw. hadits, “Ilmu ini akan dijunjung oleh orang yang
mencermati musuh kecenderungannya (pembuat bid’ah). Ia akan melenyapkan
penyelewengan orang-orang yang melakukan kesesatan dalam agama,
kecenderungan orang-orang yang membuat kebatilan, dan takwil
orang-orang bodoh.” Lihat syarah-nya dalam al-Madkhal li Dirasat
as-Sunnah an-Nabawiyah, Dr. Yusuf al-Qardhawi, hlm. 95-98.
[43]
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah SWT
tidak akan mengumpulkan umatku — atau umat Muhammad saw. — dalam
kesesatan. “Tangan Allah bersama jamaah. Siapa yang menyempal dari
jamaah maka ia menyempal ke dalam neraka.” Diriwayatkan oleh Tirmidzi
dan ia menilainya sebagai hadits gharib, serta diriwayatkan oleh
al-Hakim dengan redaksi sejenis. Lihat ash-Shahwah al Islamiah, baina
al-Ikhtilaf al-Masyru’ wa at-Tafarruq al-Madzmum, Dr. Yusuf
al-Qardhawi, hlm. 25, Muassasah ar-Risalah, Beirut.